Minggu, 14 April 2013

Sejarah Bulukumba

pesanggrahan Tanete
 

Hingga saat ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bulukumba belum memiliki satu pun literatur yang menjelaskan secara detail tentang keberadaan Pesanggrahan Tanete peninggalan Belanda ini. Masa pembangunannya pun belum tertera dalam rekam sejarah daerah ini. Termasuk dalam buku "Spektrum Sejarah Bulukumba", tidak dijumpai tulisan tentang bangunan bersejarah ini. Satu-satunya pengakuan secara tertulis hanya ditemukan pada buku "Data Base Sistem Informasi Sejarah dan Purbakala Bulukumba". Namun dalam buku seri benda cagar budaya dan situs pun hanya menjelaskan letak bangunan ini secara administratif.
Soal bagaimana sejarah bangunan ini sama sekali kabur. Pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pun tidak mampu menunjukkan literatur tentang apa dan bagaimana bangunan ini. Bahkan soal kapan didirikan dan siapa yang mendirikan tidak ada secara tertulis.
Ismail alias Hamzah adalah pria yang sudah 16 tahun menjaga tempat ini menceritakan, ruangan ini berbentuk segi lima. Di tempat tersebut ada dua meja satu berukuran 1x1/2 meter. Meja lainnya berukuran 2x1/2 meter. Juga ada dua kursi panjang dan tiga kursi satuan. Meja dan kursi ini diletakkan sama polanya dengan model ruangan tersebut. Uniknya, setiap dinding bangunan ini yang tingginya sekira 2,5 meter, sekira dua meter bagian dalam materialnya dari bambu yang kemudian disemen bagian luarnya.


Pesanggrahan ini memiliki empat kamar tidur. Masing-masing dua kamar pada sisi kanan dan dua pada sisi kiri. Pada bagian depan kamar sisi kanan dan sisi kiri lebih rapat. Kedua kamar hanya dipisahkan lorong seluas satu meter. Lorong ini menghubungkan ruang tamu dengan ruangan tengah yang dijadikan tempat makan. Itu sebabnya dua kamar pada sisi kanan dan kiri bagian belakang lebih jauh jaraknya karena dipakai sebagai ruang tengah/ruang makan. Meskipun bentuk pada bagian utama bangunan ini masih dipertahankan. Namun sebagian ada juga yang telah dirombak. Pada bagian belakang yang terpisah dari bangunan utama, awalnya ada tiga sisi yang dibangun memanjang pada 1982. Terdiri dari gudang, dapur, dan kamar mandi. Namun, saat ini sudah berubah. Bangunan tersebut diubah dan dibangun sekat-sekat kamar berjumlah enam. Kemudian pada empat kamar utama juga ditambah dengan fasilitas kamar mandi masing-masing. Ini dilakukan lantaran gedung ini juga disewakan. Tarifnya Rp50 ribu per malam. Meskipun diakui Hamzah jarang ada tamu yang memanfaatkannya.

Hamzah mengaku tidak banyak tahu asal usul bangunan ini. Yang dia ketahui hanya tahun berdirinya, yakni 1913. Itu pun, informasinya dia dapat dari cerita orang-orang dahulu.
Tokoh masyarakat namanya Karaeng Mangka. Dia juga adalah tokoh masyarakat yang sering kali membenahi bangunan ini sekian lama. saat ditanya kapan berdiri bangunan ini, dia dengan cepat menyebut angka 1913. Ditanya ada bukti menunjukkan hal ini? Karaeng Mangka menyebut satu guci yang dipasang di puncak bangunan yang menjawabnya.
Dia pun menyebut jika dirinya sudah berulang kali memperbaiki atap bangunan ini yang sudah rusak. Kemudian suatu ketika dia harus mengangkat guci seukuran toples kue ini karena akan membenahi salah satu bagiannya. Setelah diangkat, pada bagian bawah tempat guci ini menempel tertulis dibangun 1913.

Kemudian Karaeng Mangka menceritakan tentang asal usul bangunan ini. Tokoh masyarakat Tanete ini bercerita berdasarkan apa yang dia lihat dan dengar dari kerabatnya yang menjadi saksi sejarah keberadaan Belanda di tempat ini.
Dia kemudian mengatakan bahwa bangunan ini tidak terlepas dari rencana Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun pusat pemerintahan Bulukumba yang berlokasi di Tanete. Namun menurut Karaeng Mangka, hanya berselang sekira tiga tahun saja, Belanda berada dan membangun kekuasaan di Tanete.

Belanda kemudian hijrah ke Bulukumba dan mengambil segenggam tanah di daerah ini.
Tanah tersebut kemudian dibawa ke Bulukumba yakni ke Ujung Bulu dan diletakkan pada satu tempat yang kemudian akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Itu sebabnya, di Bulukumba yang saat ini memang menjadi pusat pemerintahan dimana berdiri kantor bupati berada di Kelurahan Tanah Kongkong. Artinya, tanah yang yang bawa dari daerah lain yakni dari Tanete.
Bukti bahwa Tanete menjadi daerah awal untuk menjadi pusat kota, kata dia, dibuktikan dengan penetapan daerah ini menjadi Distrik Bulukumba Lama sekira tahun 1951 atau sekira enam tahun pasca kemerdekaan.

Kembali soal pesanggrahan, dia mengatakan bahwa pengambilalihan bangunan tersebut menjadi milik pemerintah seiring dengan berpindahnya pemerintah kolonial Belanda ke Bulukumba tiga tahun setelah bangunan ini dibangun yakni pada 1916.
Awalnya, kata Karaeng Mangka, Pemerintah Belanda pindah lantaran tidak cocok dengan cuaca di Tanete yang dingin sehingga mencari lokasi lain. Saat itu lah, bangunan ini tinggal menjadi persinggahan saja jika petinggi Hindia Belanda berkunjung ke lokasi ini. Bahkan konon, Westerling juga pernah singgah di tempat ini.

Adapun versi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, gedung ini dibangun hanya sekadar persinggahan Belanda. Udara yang sejuk membuat Belanda memilih Tanete sebagai tempat paling tepat untuk beristirahat.  Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Andi Nasaruddin Gau menyebut kemungkinan ada hubungannya antara gedung tersebut dengan perusahaan karet PT London Sumatera (Lonsum). Kendati dia juga tidak berani memastikannya lantaran memang keberadaan bangunan ini belum tercatat secara lengkap.


SUKU KAJANG


Suku Kajang atau yang lebih dikenal dengan Adat Ammatoa adalah sebuah suku yang terdapat pada kebudayaan sulawesi selatan Masyarakat Kajang di bisa di jumpai pada Kabupaten Bulukumba lebih tepatnya kecamatan kajang. Sebuah Suku Klasik yang masih kental akan adat istiadatnya yang sangat sakral.

Masyarakat adat Ammatoa tinggal berkelompok dalam suatu area hutan yang luasnya sekitar 50 km. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal moderenisasi, kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Mungkin disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya yang selalu bersandar pada pandangan hidup adat yang mereka yakini.


Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan.

Suku Kajang dalam lebih teguh memegang adat dan tradisi moyang mereka dibanding penduduk kajang luar yang tinggal di luar perkampungan. Rumah-rumah panggung yang semuanya menghadap ke barat tertata rapi, khususnya yang berada di Dusun Benteng tempat rumah Amma Toa berada. Tampak beberapa rumah yang berjejer dari utara ke selatan. Di depan barisan rumah terdapat pagar batu kali setinggi satu meter. Rumah Amma Toa berada beberapa rumah dari utara.

Dalam bahasa bugis Konjo yang kental merupakan bahasa suku yang selama ini sebagai media kkomunikasi antar sesama masyarakat suku kajang.

Rumah Adat Suku Kajang bila kita melihat secara fisik tidak jauh beda dengan rumah adat masayarakat bugis makassar struktur yang tinggi dan masih mempergunakan kekayaan hutan disekitar untuk membuatnya



Begitu banyak Kebudayaan yang dimiliki oleh Masyarakat Bugis Makassar sudah sepantasnya lah kita melestarikan kebudayaan tersebut. Suku Kajang salah satu dari sekian banyaknya budaya nusantara yang masih kental akan adat istiadatnya.



0 komentar:

Posting Komentar