Kamis, 02 Mei 2013

TEMPAT WISATA GUA MAMPU

TEMPAT WISATA GUA MAMPU
Dua Boccoe adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bone, ProvinsiSulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kecamatan adalah Uloe. Terletak di Bone Bagian utara. Kecamatan ini memiliki potensi wisata yang cukup dikenal di Bone dan sekitarnya, antara lain Goa Mampu dengan stalaktit dan stalaknit yang indah, pemandian alam Sailong dan Panyili. Desa Uloe juga dilalui sebuah sungai besar yang dilayari perahu phinisi yang mengangkut kayu Sungai Walannae berhulu di Danau Tempe Wajo dan bermuara di Pallime, sebuah kota pelabuhan yang terkenal pada zaman dahulu sebagai pintu gerbang perantau-perantau bugis bone dan wajo. selain sungai walannae juga ada sungai Unnyi yang berhulu dari sumber mata air di Cabbeng, tempat dimana terdapat gua Mampu. sumber mata air cabbeng mengandung belerang Uloe sebagai pusat kecamatan Dua Boccoe merupakan desa dengan jumlah kendaraan terbanyak di seluruh kabupaten Bone di luar Kota Watampone. pada hari-hari pasar jalanan menjadi macet karen banyak kendaraan yang parkir di sekitar pasar Uloe yang diselenggarakan tiap 5 hari sekali yaitu pada hari Legi. Desa Uloe dipimpin oleh Bapak Suradi Suhatman, yang terpilih pada pilkades tahun 2005. Kelahiran 6 Desember 1968, beliau dapat dihubungi di no HP +6285242833273. sedang Lembaga masyarakat Desa dipimpin oleh Bapak Ust. Haji Burhanuddin, pensiunan Kantor Urusan Agama Uloe penduduk desa Uloe kebanyakan bermata pencaharian petani dan Pedagang. disebelah barat Uloe terdapat Danau Matajang. Danau matajang berada di wilayah kelurahan Matajang, dimana terdapat situs bersejarah yang disebut Addiwatang'e. penduduk sekitar matajang yaitu desa Ujung Pero dan Kelurahan Matajang banyak yang berziarah ke situs ini untuk bernazar bilamana hendak pergi merantau. Dalam legenda terciptanya kerajaan Bone, disebutkan munculnya to Mannurung yang berbaju Kuning di Matajang. mungkin disinilah tempatnya. Orang Ujung juga mempunyai adat istiadat yang mensakralkan tempat ini, dipimpin oleh seorang yang dianggap mampu memimpin upacara-upacara penghormatan. salah seorang pemimpin adat tersebut bernama Marjuni yang tinggal di desa Ujung. beliau sering diminta untuk memimpin doa bagi masyarakat. dalam doanya beliau juga membaca al-Fatihah dan doa-doa Islam lainnya. anda dapat melihat juga ke Desaku yang tercinta di http:\uloebone.blogspot.com

Wisata Gua Mampu
Gua Mampu merupakan Gua terluas di Selawesi Selatan. Gua Mampu memilki luas sekitar 2.000 meter persegi. Gua Mampu yang terletak di Desa Cabbeng, Kecamatan Dua Baccoe, sekitar 34 km dari Wattampone, Kabupaten Bone, Selawasi Selatan. Gua Mampu bukan hanya sekedar gua karena masyarakat sekitar mengaitkan Gua Mampu dengan sebuah legenda yang diyakini secara trun menurun. Seperti gua – gua yang lain di Gua Mampu juga terdapat staligmit dan stalatit namun Staligmit dan Satlitit di Gua Mampu menyerupai bentu makhluk yang memunculkan legenda Alleborenge Ri Mampu.

Legenda Alleborenge Ri Mampu, yang berkembang seputar gua, diyakini secara turun-temurun, sebagai suatu kebenaran. Konon, di Gua Mampu ini pernah berdiri Kerajaan Mampu. Namun karena kutukan dewa, penghuni kerajaan ini, termasuk binatang dan benda-benda lainnya berubah menjadi batu. Gua Mampu ini, juga ditemui dalam lontar Bugis kuno, yang berkisah tentang perkampungan yang terkena kutukan sang dewata. Karena di dalam Gua Mampu terdapat juga banyak di temui bongkahan batu mirip Manusia, Binatang dan Benda – Benda lainya. Gua Mampu yang terbentuk dari proses alam selama ratusan tahun lalu belum seluruhnya berhasil ditelusuri.
Gua Mampu memang hanya 700 meter dari 2000 meter yang sudah di ketahui namun anda tidak usah khawatir anda akan di bantu oleh anak – anak kecil yang akan menyewakan obor dan seter untuk peralatan peneranagan anak – anak kecil ini juga akan membantu anda mengitari Gua Mampu. Jangan Khawatir anak – anak yang akan membantu anda juga akan menjelaskan akan legenda dari Gua Mampuini.





read more

Kabupaten Sidrap

Berdasarkan Lontara’ Mula Ri Timpakenna Tana’e Ri Sidenreng halaman 147, dikisahkan tentang seorang raja bernama Sangalla. Ia adalah seorang raja di Tana Toraja. Konon Memiliki sembilan orang anak yaitu La Maddarammeng, La Wewanriru, La Togellipu, La Pasampoi, La Pakolongi, La Pababbari, La Panaungi, La Mampasessu, dan La Mappatunru. Sebagai saudara sulung, La Maddaremmeng selalu menekan dan mengintimidasi kedelapan adik-adiknya, bahkan daerah kerajaan adik-adiknya ia rampas semua. Karena semua adiknya tidak tahan lagi dengan perlakuan kakaknya, mereka pun sepakat meninggalkan Tana Toraja. Karena perjalanan yang melelahkan, mereka kehausan lalu mencari jalan ke tepi genangan air di pinggir danau. Namun, danau itu ternyata berada di hutan yang lebat, sehingga sulit bagi mereka untuk mencapainya. Karena harus menembus semak belukar yang lebat, mereka pun Sirenreng-renreng (saling berpegangan tangan).Sesampainya di sana, mereka minum sepuas-puasnya dan duduk beristirahat kemudian mandi. Setelah itu, mereka berdiskusi bertukar pikiran tentang nasib yang merka jalani. Akhirnya, mereka sepakat untuk bermukim di tempat itu. Di sanalah mereka memulai kehidupan baru untuk bertani, berkebun, menangkap ikan, dan beternak. Semakin hari, pengikut-pengikutnya pun semakin banyak. Tempat itulah yang kemudian dikenal“Sidenreng“, yang berasal dari kata Sirenreng-renreng mencari jalan ke tepi danau, dan danau itulah yang sekarang dikenal dengan danau Sidenreng. Dari situ, terbentuk kerajaan Sidenreng.
Menurut sejarah, Sidenreng Rappang awalnya terdiri dari dua kerajaan, masing-masing Kerajan Sidenreng dan Kerajaan Rappang. Kedua kerajaan ini sangat akrab. Begitu akrabnya, sehingga sulit ditemukan batas pemisah. Bahkan dalam urusan pergantian kursi kerajaan, keduanya dapat saling mengisi. Seringkali pemangku adat Sidenreng justru mengisi kursi kerajaan dengan memilih dari komunitas orang Rappang. Begitu pula sebaliknya, bila kursi kerajan Rappang kosong, mereka dapat memilih dari kerajaan Sidenreng .Itu pula sebabnya, sulit untuk mencari garis pembeda dari dua kerajaan tersebut. Dialek bahasanya sama, bentuk fisiknya tidak beda, bahasa sehari-harinya juga mirip. Kalaupun ada perbedaan yang menonjol, hanya dari posisi geografisnya saja. Wilayah Rappang menempati posisi sebelah Utara, sedangkan kerajaan Sidenreng berada di bagian Selatan.
Kedua kerajaan tersebut masing-masing memiliki sistem pemerintahan sendiri. Di kerajaan Sidenreng kepala pemerintahannya bergelar Addatuang. Pada pemerintahan Addatuang, keputusan berasal dari tiga sumber yaitu, raja, pemangku adat dan rakyat. Sedangkan di Kerajaan Rappang rajanya bergelar Arung Rappang dan menyandarkan sendi pemerintahanya pada aspirasi rakyat. Demokrasi sudah terlaksana pada setiap pengambilan kebijakan. Demokrasi bagi kerajaan Rappang adalah sesuatu yang sangat penting, salah satu bentuk demokrasinya adalah penolakan diskriminasi gender. Perbedaan gender tidak menjadi masalah, khususnya bagi kaum wanita untuk meniti karir sebagaimana layaknya kaum pria. Buktinya, adalah emansipasi wanita sudah ditunjukkan dengan seorang perempuan yang menjadi rajanya, yaitu Raja Dangku, raja kesembilan yang terkenal cerdas, jujur, dan pemberani. Wanita yang kemudian dikenal sukses menjalankan roda pemerintahan di zamannya.
Pada saat pengakuan kedaulatan republik Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949, berakhirlah dinasti Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang. Ketika bumi Indonesia kemudian melepaskan diri dari belenggu penjajah, ketika pekik kemerdekaan menggema di seantero nusantara, kerajaan Sidenreng lebih awal menunjukkan watak nasionalismenya dengan bersedia melepaskan sistem kerajaan mereka. Padahal sistem itu sudah berlangsung lama, sampai 21 kali pergantian pemimpin. Mereka memilih berubah dan menyatu dengan pola ketatanegaraan Indonesia. Kerajaan akhirnya melebur menjadi kabupaten Sidenreng Rappang, dengan bupati pertamanya H. Andi Sapada Mapangile dan untuk pertama kalinya dalam sejarah pemerintahan Sidenreng Rappang dilakukan pemilihan umum untuk memilih bupati secara langsung pada tanggal 29 Oktober 2008 lalu.
Di daerah ini pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang (Addatuang adalah semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama 'Nenek Mallomo'. Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng, yaitu: Naiya Ade'e De'nakkeambo, de'to nakkeana, artinya: Sesungguhnya adat itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak. Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo' ketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nenek Mallomo' yang mencuri peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara' La Toa, Nenek Mallomo' disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo, Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo' dalam menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para Pallontara' ahli mengenai buku Lontara') dan tokoh-tokoh masyarakat adat. Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu'mang sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya.Saat ini SIDRAP dipimpin oleh bupati termuda di Indonesia H. Rusdi Masse.
Sebelum ditetapkan menjadi sebuah Kabupaten, Sidenreng Rappang atau yang lebih akarab disingkat SIDRAP, memiliki sejarah panjang sebagai kerajaan Bugis yang cukup disegani di Sulawesi Selatan sejak abad XIV, disamping Kerajaan Luwu, Bone, Gowa, Soppeng, dan Wajo.
Berbagai literatur yang ada menyebutkan, eksistensi Kerajaan ini turut memberi warna dalam percaturan politik dan ekonomi kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Sidenreng merupakan salah satu dari sedikit kerajaan yang tercatak dalam kitab “La Galigo” yang amat melegenda. Sementara masa La Galigo, menurut Christian Pelras yang menulis buku Manusia Bugis, berlangsung pada periode abad ke 11 dan 13 Masehi. Ini berarti Sidenreng merupakan salah satu kerajaan kuno atau pertama di Sulawesi Selatan. Di abad selajutnya, Kerajaan Sidenreng yang berpusat di sekitar danau besar (Tappareng karaja) menjadi salah satu negeri yang ramai dan terkenal hingga ke benua lain. Ini sesuai dengan catatan seorang Portugis di abad ke-16 M yang menuliskan Sidereng sebagai “…Sebuah kota besar dan terkenal, berpusat di sebuah danau yang dapat dilayari, dan dikelilingi tempat-tempat pemukiman.” (Tiele 1880, IV;413).
Manuel Pinto, seorang berkebangsaan Portugsi lainnya malah sempat menetap selama delapan bulan di Kerajaan Sidenreng dan merekam suasana tahun 1548 M. Pinto menggambarkan Sidenreng sebagai sebuah negeri yang ramai dengan penduduk sekitar 300.000 orang. Ada yang berpendapat bahwa asumsi penduduk di tahun 1548 M yang disebut Pinto terlalu besar. Namun dengan kebesaran dan kejayaan Sidenreng di masa itu, tak menutup kemungkinan bahwa Sidereng mempunyai wilayah yang jauh lebih luas daripada Kabupaten Sidenreng Rappang atau wilayah Ajatappareng sekarang ini.
Ia juga menceritakan aktivitas perdagangan di kerajaan ini yang dikunjungi pedangang dari berbagai belahan dunia termasuk Portugis dengan muggunakan jalur laut menuju Tappareng Karaja. Pinto menulis, “Sebuah fusta besar (kapal layar portugis yang panjang dan dilengkapi deretan dayung di kedua sisinya) dapat berlayar dari laut munuju Sidereng.” (Wicki, Documents Indica, II: 420-2). Hal ini diperkuat oleh Crawfurd pada 1828 (Descriptive Dictionary; 74, 441) yang menulis, “pada kampung-kakmpung di tepi (danau)… berlangsung perdagangan luar negeri yang peset. Perahu-perahu dagang dihela ke hulu sungai Cenrana…Kecuali pada musim kemarau, airnya cukup dalam untuk dilewati perahu-perahu paling besar sekalipun.”
Sejarawan lainnya mencatat, “Sidenreng adalah perbatasan wilayah pengaruh Luwu dan Siang, terletak di antara dataran yang merupakan satu-satunya celah alami antara gugusan gunung yang memisahkan pantai barat dan timur semenanjung Sulawesi Selatan.” (Andaya 2004, Wari san Arung Palakka, Sejarah Sulawesi di Abad XVII). Dalam literatur lain, Rappang disebutkan sebagai kerajaan yang menguasai daerah hilir Sungai Saddang di abad 15 M. Bersama dengan Sidenreng, Sawitto, Alitta, Suppa, dan Bacukiki, mereka membentuk persekutuan Aja’Tappareng (wilayah barat danau) untuk membendung dominasi Luwu. Persekutuan itu kemudian diikatkan dalam perkawinan antar keluarga raja-raja mereka. Kabupaten Sidenreng Rappang atau Sidrap dengan ibukotanya Pangkajene berjarak ±183 km dari Kota Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, dengan luas wilayahnya mencapai 1.883,25 km², yang secara administratif terbagi dalam 11 kecamatan yaitu:
  • Kecamatan Panca Lautan
  • Kecamatan Tellu LimpoE
  • Kecamatan Watang Pulu
  • Kecamatan MaritengngaE
  • Kecamatan Baranti
  • Kecamatan Panca Rijang
  • Kecamatan Kulo
  • Kecamatan Sidenreng
  • Kecamatan Pitu Riawa
  • Kecamatan Dua PituE
  • Kecamatan Pitu Riase
  • Juga terdiri atas 38 kelurahan, dan 65 desa. Secara geografis, Kabupaten ini terletak di sebelah Utara Kota Makassar, tepatnya diantara titik koordinat :
  • Lintang Selatan 3o43 – 4o09
  • Bujur Timur 119o41 – 120o10
  • Posisi Wilayah Kabupaten Sidenreng Rappang berbatasan dengan :
  • Sebelah Utara : Kabupaten Pinrang dan Enrenkang.
  • Sebelah Timur : Kabupaten Luwu dan Wajo.
  • Sebelah Selatan : Kabupaten Barru dan Soppeng.
  • Sebelah Barat : Kabupaten Pinrang dan Kota Parepare.
Sidenreng Rappang juga dikenal dengan sebutan Bumi Nene’ Mallomo. Nama ini diambil dari seorang Cendikiawan yang diyakini pernah hidup di Kerajaan Sidenreng di masa pemerintahan La Patiroi Addatuan Sidenreng VII. Nene’ Mallomo adalah penasehat utama Addatuang dalam hukum dan pemerintahan. Ia dikenang karena kecendekiawannya dalam merumuskan hukum ketatanegaraan dan kejujurannya dalam menegakkan keadilan. Secara garis besar masyarakat Kabupaten Sidenreng Rappang mayoritas suku Bugis.




read more

Situs Sejarah Kabupaten Bantaeng

Kabupaten Bantaeng adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Terletak dibagian selatan provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 395,83 km² atau 39.583 Ha yang dirinci berdasarkan Lahan Sawah mencapai 7.253 Ha (18,32%) dan Lahan Kering mencapai 32.330 Ha. Secara administrasi Kabupaten Bantaeng terdiri atas 8 kecamatan yang terbagi atas 21 kelurahan dan 46 desa. Jumlah penduduk mencapai 170.057 jiwa. Kabupaten Bantaeng terletak di daerah pantai yang memanjang pada bagian barat dan timur sepanjang 21,5 kilometer yang cukup potensial untuk perkembangan perikanan dan rumput laut.
Sejarah
Komunitas Onto memiliki sejarah tersendiri yang menjadi cikal bakal Bantaeng. Menurut Karaeng Imran Masualle salah satu generasi penerus dari kerajaan Bantaeng, dulunya daerah Bantaeng ini masih berupa lautan. Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah Onto dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi. Masing-masing daerah ini memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’. Suatu ketika para Kare yang semuanya ada tujuh orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang akan memimpin mereka semua.
Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan pertapaan lebih dulu, untuk meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Maha Kuasa) siapa kira-kira yang tepat menjadi pemimpin mereka. Lokasi pertapaan yang dipilih adalah daerah Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu. Tempat-tempat samadi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah kecil yang beratap, berdidinding dan bertiang bambu). Pada saat mereka bersemadi, turunlah cahaya ke Kare Bisampole (Pimpinan daerah Bisampole) dan terdengar suara :”Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna” (Apa yang engkau cari dalam cuaca dingin seperti ini). Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali terdengar suara: “Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya (Besok datanglah kesatu tempat permandian yang terbuat dari bamboo).
Keesokan harinya mereka mencari tempat yang dimaksud di daerah Onto. Di tempat itu mereka menemukan seorang laki-laki sedang mandi. “Inilah kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas Karaeng Burhanuddin salah seorang dari generasi kerajaan Bantaeng. Lalu ketujuh Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta Tomanurung untuk memimpin mereka. Tomanurung menyatakan kesediaannya, tapi dengan syarat. “Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu” (saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.
Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun menyahut; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.” (Saya terima permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun). Maka jadilah Tomanurung ri Onto ini sebagai raja bagi mereka semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya Onto)
Setelah itu mereka pun berangkat ke arah yang sekarang disebut gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu bertanyalah Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon Taeng sambil memandang kearah enam kare yang lain. Serentak kenam kare yang lain menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat). Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng jelas Karaeng Imran Masualle.
Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah sakral dan perlindungan bagi keturunan raja Bnataeng bila mendapat masaalah yang besar, maka bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini, kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun kini hal itu hanya cerita. Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu telah berubah akibat kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang terhadap daerah ini. Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.
Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu: Kare Onto, Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Mamampang, Katapang dan Lawi-Lawi.
Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi perang Makassar, dimana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai bandar pelabuhan dan lumbung pasngan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan besar-besaran.
Bulan 12 (dua belas), menunjukkan sistem Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala Kampung) sebagai anggotanya yang secara demokratis mennetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng. Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Penentuan autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu.
Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah bersejarah). Selanjutnya laporan peneliti Amerika Serikat Wayne A. Bougas menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para penggali keramik pada bagian penting wilayah Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuan (1279-1368).
Dengan demikian, maka sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh para pakar sejarah, sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli 1999. berdasarkan Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes KKB/VII/1999 tanggal 4 Juli 1999 tentang penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun kesepatan anggota DPRD Tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa sangat tepat Hari Jadi Bantaeng ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor: 28 tahun 1999.
Daftar nama-nama raja yang pernah memerintah
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah memerintah di wilayah Kabupaten Bantaeng, yaitu:
Bantayan pada awalnya sebagai Kerajaan yakni tahun 1254 - 1293 yang mana diperintah oleh Mula Tau yang bergelar To Toa yang memimpin Kerajaan Bantaeng yang terdiri dari 7 Kawasan yang masing diantaranya dipimpin oleh Karaeng, yaitu Kare Onto, Kare Bissampole, Kare Sinoa, Kare Gantarang Keke, Kare Mamampang, Kare Katampang dan Kare Lawi-Lawi, yang semua Kare tersebut dikenal dengan nama “Tau Tujua”
Sesudah Mula Tau, maka Raja kedua yang memerintah yaitu Raja Massaniaga pada tahun 1293.
Pada tahun 1293 - 1332 dipimpin oleh To Manurung atau yang bergelar Karaeng Loeya.
  • Tahun 1332 - 1362 dipimpin oleh Massaniaga Maratung.
  • Tahun 1368 - 1397 dipimpin oleh Maradiya.
  • Tahun 1397 - 1425 dipimpin oleh Massanigaya.
  • Tahun 1425 - 1453 dipimpin oleh I Janggong yang bergelar Karaeng Loeya.
  • Tahun 1453 - 1482 dipimpin oleh Massaniga Karaeng Bangsa Niaga.
  • Tahun 1482 - 1509 dipimpin oleh Daengta Karaeng Putu Dala atau disebut Punta Dolangang.
  • Tahun 1509 - 1532 dipimpin oleh Daengta Karaeng Pueya.
  • Tahun 1532 - 1560 dipimpin oleh Daengta Karaeng Dewata.
  • Tahun 1560 - 1576 dipimpin oleh I Buce Karaeng Bondeng Tuni Tambanga.
  • Tahun 1576 - 1590 dipimpin oleh I Marawang Karaeng Barrang Tumaparisika Bokona.
  • Tahun 1590 - 1620 dipimpin oleh Massakirang Daeng Mamangung Karaeng Majjombea Matinroa ri Jalanjang Latenri Rua.
  • Tahun 1620 - 1652 dipimpin oleh Daengta Karaeng Bonang yang bergelar Karaeng Loeya.
  • Tahun 1652 - 1670 dipimpin oleh Daengta Karaeng Baso To Ilanga ri Tamallangnge.
  • Tahun 1670 - 1672 dipimpin oleh Mangkawani Daeng Talele.
  • Tahun 1672 - 1687 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Baso (kedua kalinya).
  • Tahun 1687 - 1724 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Ngalle.
  • Tahun 1724 - 1756 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Manangkasi.
  • Tahun 1756 - 1787 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Loka.
  • Tahun 1787 - 1825 dipimpin oleh Ibagala Daeng Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang.
  • Tahun 1825 - 1826 dipimpin oleh La Tjalleng To Mangnguliling Karaeng Tallu Dongkonga ri Bantaeng yang bergelar Karaeng Loeya ri Lembang.
  • Tahun 1826 - 1830 dipimpin oleh Daeng To Nace (Janda Permaisuri, Kr. Bagala Dg. Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang).
  • Tahun 1830 - 1850 dipimpin oleh Mappaumba Daeng To Magassing.
  • Tahun 1850 - 1860 dipimpin oleh Daeng To Pasaurang.
  • Tahun 1860 - 1866 dipimpin oleh Karaeng Basunu.
  • Tahun 1866 - 1877 dipimpin oleh Karaeng Butung.
  • Tahun 1877 - 1913 dipimpin oleh Karaeng Panawang.
  • Tahun 1913 - 1933 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi.
  • Tahun 1933 - 1939 dipimpin oleh Karaeng Mangkala.
  • Tahun 1939 - 1945 dipimpin oleh Karaeng Andi Mannapiang.
  • Tahun 1945 - 1950 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi (kedua kalinya).
  • Tahun 1950 - 1952 dipimpin oleh Karaeng Andi Mannapiang (kedua kalinya).
  • Tahun 1952 - Karaeng Massoelle (sebagai pelaksana tugas).
Hari kelahiran Bantaeng adalah merupakan momentum sejarah yang memiliki makna yang sangat dalam dan mendasar, oleh karena itu maka penentuan hari Jadi Bantaeng harus dilakukan sejarah arif dan bijaksanas serta mempertimbangkan berbagai hal dan dimensi, antara lain dengan mempergunakan berbagai pendekatan dan penelitian yang seksama, seperti seminar , diskusi-diskusi ilmiah dan observasi terhadap data lontara, penelitian situs sejarah dan melalui penelitian dokumen-dokumen yang ada.
Apabila dilihat dari segi yuridis formal, maka hari jadi Bantaeng jatuh pada tanggal 4 Juli 1959 disaat diundangkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi. Namun, pemberlakuasn Undang-Undangf Nomor 29 tahun 1959, bukanlah menunjukkan keberadaaan Bantaeng pertama kali, karena Kabupaten Bantaeng sebagai bekas Afdeling pada Zama Pemerintahan Hindia Belanda sudah lama dikenal sebagai pusat pemerintahan formal. Bahkan sejak tanggal 11 November 1737 Resident Pertama Pemerintahan Hindia Belanda telah memimpin pemerintahan di Bantaeng.
Dengan status "Buttatoa", maka kita menoleh kepada sejarah jauh sebelumnya, ketika kerajaan Bantaeng terbentuk pada abad XII, yang telah ditemukan oleh kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit ketika memperlebar usaha dagang dan kekuasaan kewilayah timur edan dicatat dalam berbagai dokumen, antara lain peta wilayah Singosari dan buku Prapanca yang berjudul Negara Kertagama.
Dengan demikian, maka hari jadi Bantaeng, selain bermakna historis juga bermakna simbolik yang menggambarkan nilai budaya dan kebesaran Bantaeng dimasa lalu dengan adat istiadatnya yang khas. Tanggal 7 (Tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto, dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu : Kare Onto, Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Mamampang, Katapang dan Lawi-Lawi.
 Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi perang Makassar, dimana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai bandar pelabuhan dan lumbung pasngan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan besar-besaran. Bulan 12 (dua belas),menunjukkan sistim Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang, yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala Kampung) sebagai anggotanya, yang secara demokratis mennetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.
Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Kertanegaramemperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Penentuan autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu. Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi, sehiongga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah bersejarah). Selanjutnya laporan peneliti Amerika Serikat Wayne A. Bougas menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para penggali keramik pada bagian penting wilayah Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuan (1279-1368).
Dengan demikian, maka sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh para pakar sejarah,sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli 1999. berdasarkan Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes KKB/VII/1999 tanggal 4 Juli 1999 tentang penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun kesepatan anggota DPRD Tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa sangat tepat Hari Jadi Bantaeng ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254, Peraturan Daerah Nomor: 28 tahun 1999. Sejak terbentuknya Kabupaten daerah Tingkat II Bantaeng berdasarkasn UU Nomor 29 Tahun 1959, Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang pertama dilantik pada tanggal 1 Pebruari 1960.

Adapun pejabat pemerintahan sejak terbentuknya Kabupaten Bantaeng sebagai berikut:
  • A. Rifai Bulu Tahun 1960-1965
  • Aru Saleh Tahun 1965-1966
  • Solthan Tahun 1966-1971
  • H. Solthan Tahun 1971-1978
  • Drs. H. Darwis Wahab Tahun 1978-1988
  • Drs. H. Malingkai Maknun Tahun 1988-1993
  • Drs. H. said Saggaf Tahun 1993-1998
  • Drs. H. Azikin Solthan, M. Si Tahun 1998 – 2008
  • Dr.Ir. Nurdin Abdullah, M.Agr Tahun 2008 – Sekarang



read more

SEJARAH KABUPATEN TANA TORAJA

Sebelum menggunakan kata TANA TORAJA, Tana Toraja terkenal dengan nama TONDOK LEPONGAN BULAN TANA MATARI’ ALLO, yang berarti NEGERI DENGAN BENTUK PEMERINTAHAN DAN KEMASYARAKATAN YANG MERUPAKAN SUATU KESATUAN YANG UTUH - BULAT BAGAIKAN BULAN DAN MATAHARI.


Kata TANA TORAJA baru dikenal sejak Abad ke-17 yaitu sejak daerah ini mengadakan hubungan dengan beberapa tetangga di daerah Bugis: Bone, Sidenreng dan Luwu.
Ada beberapa pendapat mengenai arti kata TORAJA antara lain dari bahasa Bugis: TO = Orang, dan RIAJA = DARI UTARA. Ada pula yang berpendapat bahwa TO RIAJA berarti Orang Dari Barat. Begitu menurut pendapat dari Luwu pada permulaan Abad ke-19 ketika penjajah mulai merentangkan sayapnya ke daerah pedalaman Sulawesi Selatan.
Tahun 1906 pasukan penjajah tiba di Rantepao dan Makale melalui Palopo. Ketika penjajah itu tiba di Rantepao dan Makale, mereka dihadapi dengan gigih oleh beberapa pemimpin Toraja antara lain: PONGTIKU, BOMBING, WA’SARURAN yang menimbulkan banyak korban di pihak penjajah.
Pemerintah Hindia Belanda mulai menyusun pemerintahannya yang terdiri dari DISTRIK, BUA’ dan KAMPUNG yang masing-masing dipimpin oleh penguasa setempat (Puang, Parengnge’ dan Ma’dika).
Setelah 19 tahun Hindia Belanda berkuasa di daerah ini, Tana Toraja dijadikan sebagai ONDERAFDELING di bawah SELFBESTUUR Luwu di Palopo yang terdiri dari 32 LANSCHAAP dan 410 Kampung dan sebagai CONTROLEUUR yang pertama ialah: H. T. MANTING.
Pada 8 Oktober 1946 dengan besluit LTTG tanggal 8 Oktober 1946 Nomor 5 (Stbld. 1946 Nomor 105) ONDERAFDELING Makale/Rantepao dipisahkan dari Swapraja yang berdiri sendiri di bawah satu pemerintahan yang disebut TONGKONAN ADA’.
Pada saat Pemerintahan berbentuk Serikat (RIS) tahun 1946 TONGKONAN ADA’ diganti dengan suatu pemerintahan darurat yang beranggotakan 7 orang dibantu oleh satu badan yaitu KOMITE NASIONAL INDONESIA (KNI) yang beranggotakan 15 orang.
Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan Nomor 482, Pemerintah Darurat dibubarkan dan pada tanggal 21 Pebruari 1952 diadakan serah terima Pemerintahan kepada Pemerintahan Negeri (KPN) Makale/Rantepao yaitu kepada Wedanan ANDI ACHMAD. Dan pada saat itu wilayah yang terdiri dari 32 Distrik, 410 Kampung dirubah menjadi 15 Distrik dan 133 Kampung.
Berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1957 dibentuklah Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja yang peresmiannya dilakukan pada tanggal 31 Agustus 1957 dengan Bupati Kepala Daerah yang pertama bernama LAKITTA.
Pada Tahun 1961 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 2067 A. Administrasi Pemerintahan berubah dengan penghapusan Sistim Distrik dan pembentukan Pemerintahan Kecamatan.
Tana Toraja pada waktu itu terdiri atas 15 Distrik dengan 410 Kampung berubah menjadi 9 Kecamatan dengan 135 Kampung. Kemudian dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 450/XII/1965 tanggal 20 Desember 1965 diadakan pembentukan Desa Gaya Baru.
Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan tentang pembentukan Desa Gaya Baru tersebut, ditetapkanlah SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tana Toraja Nomor 152/SP/1967 tanggal 7 September 1967 tentang Pembentukan Desa Gaya Baru dalam Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja sebanyak 65 Desa Gaya Baru yang terdiri dari 180 Kampung dengan perincian sebagai berikut:


1    Kecamatan Makale    7 Desa    20 Kampung      
2    Kecamatan Sangalla'    4 Desa    8 Kampung      
3    Kecamatan Mengkendek    6 Desa    20 Kampung      
4    Kecamatan Saluputti    10 Desa    25 Kampung      
5    Kecamatan Bonggakaradeng    4 Desa    15 Kampung      
6    Kecamatan Rantepao    4 Desa    18 Kampung      
7    Kecamatan Sanggalangi'    9 Desa    40 Kampung      
8    Kecamatan Sesean    11 Desa    18 Kampung      
9    Kecamatan Rindingallo    10 Desa    22 Kampung      
     Total    65 Desa    180 Kampung   

Berdasarkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Peraturan Pelaksanaannya, dari 65 Desa Gaya Baru tersebut berubah menjadi 45 Desa dan 20 Kelurahan.
Selanjutnya dengan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tana Toraja Nomor 169 Tahun 1983 tanggal 26 September 1983 dibentuklah Dusun dalam Desa dan Lingkungan dalam Kelurahan. Pelaksanaan lebih lanjut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa tersebut, dengan instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1980 dari 65 Desa dan Kelurahan tersebut dibentuk lagi 18 Desa Persiapan yang selanjutnya dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 168/XI/1982 tanggal 29 Nopember 1982, 18 Desa Persiapan tersebut menjadi Desa Defenitif.
Pembentukan wilayah kerja Pembantu Bupati Kepala Daerah Wilayah Utara. Berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 1988 tanggal 26 September 1988, telah dibentuk sebuah wilayah kerja pembantu Bupati Kepala Daerah Wilayah Utara meliputi Kecamatan Rantepao, Kecamatan Sanggalangi’, Kecamatan Sesean dan Kecamatan Rindingallo.
Selanjutnya dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 1102/IX/1989 tanggal 11 September 1989 dari 63 Desa tersebut, dimekarkan lagi 8 Desa Persiapan yang selanjutnya dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 769/VI/1991 tanggal 20 Juni 1991 dari 8 Desa Persiapan tersebut ditetapkan sebagai Desa Defenitif.
Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 601/V/1992 tanggal 21 Mei 1992 telah disahkan 22 Kelurahan Persiapan.
Dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 78/II/1995 tanggal 6 Pebruari 1995 telah dibentuk 4 Perwakilan Kecamatan, yaitu:
    - Perwakilan Kecamatan Rantetayo
    - Perwakilan Kecamatan Tondon Nanggala
    - Perwakilan Kecamatan Simbuang
    - Perwakilan Kecamatan Sa’dan Balusu
Selanjutnya dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 954/XI/1998 tanggal 14 Desember 1998 dibentuk lagi 2 Kecamatan Perwakilan yaitu:
    - Perwakilan Kecamatan Bittuang
    - Perwakilan Kecamatan Buntao’ Rantebua
Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 68/II/1995 tanggal 20 Pebruari 1995 dari 22 Kelurahan Persiapan telah disahkan 15 Kelurahan Persiapan menjadi Kelurahan Defenitif, yang selanjutnya dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 442/1996 tanggal 17 September 1996 telah disahkan 7 Kelurahan Persiapan menjadi Kelurahan Defenitif.
Dari sejumlah Desa/Kelurahan Defenitif tersebut dimekarkan lagi 104 Desa Persiapan dan 10 Kelurahan Persiapan sesuai SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 771/X/1996 tanggal 9 Oktober 1996 dibentuk lagi 15 Desa Persiapan.

Selanjutnya dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 162/VII/1997 tanggal 31 Juli 1997, 10 Kelurahan disahkan menjadi Kelurahan Defenitif dan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 163/VII/1997 tanggal 31 Juli 1997 ke 104 Desa Persiapan disahkan menjadi Desa Defenitif.
Dengan berlakukanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2000 Tanggal 29 Desember 2000 maka 6 Kecamatan Perwakilan menjadi Defenitif sehingga jumlah Kecamatan di Kabupaten Tana Toraja menjadi 15 Kecamatan. Selanjutnya dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2001 Tanggal 11 April 2001 maka dari 238 Desa yang ada di Kabupaten Tana Toraja berobah nama menjadi Lembang serta ada yang mengalami penggabungan. Sekarang Kecamatan mekar lagi menjadi 29 Kecamatan, 73 Kelurahan dan 195 Lembang.


Dikarenakan perkembangan pembangunan dan kemasyarakatan didaerah yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, maka melalui Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja Nomor 6 Tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja Nomor  18 tahun 2000, Kabupaten Tana Toraja saat ini terdiri atas 40 Kecamatan, 87 Kelurahan dan 223 Lembang, Berdasarkan aspirasi yang terus berkembang seiring dengan dinamika masyarakat serta adanya dukungan dan keinginan politik pemerintah Kabupaten Tana Toraja dan dukungan dari berbagai pihak, maka melalui proses yang panjang akhirnya pada tanggal 21 juli 2008, ditetapkan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Toraja Utara di Provinsi Sulawesi Selatan  yang diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 101, dengan demikian secara administrasi pemerintahan wilayah Kabupaten Tana Toraja  terbagi menjadi dua, yakni Kabupaten Tana Toraja sebagai Kabupaten Induk dan Kabupaten Toraja Utara sebagai daerah otonomi baru yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 26 Nopember 2008, yang maka luas Kabupaten Tana Toraja setelah mengalami pemekaran menjadi 2.054,3 Km⒉yang terdiri dari 19 Kecamatan112 Lembang dan 47 Kelurahan.





read more

Tempat-tempat wisata di kota Makassar

Pantai Losari Makassar

Diseluruh Indonesia, hanya ada satu pantai yang dapat menyaksikan sunrise dan sunset di satu titik berdiri yang sama. “Pantai itu yakni pantai Losari, Makasar”. Lepas dari itu, pantai Losari adalah salah satu pantai paling resik dan apik yang pernah saya lihat, dan hebatnya lagi pantai ini berada tepat di jantung kota besar. Waktu paling ideal mengunjungi pantai Losari adalah sore hari antara jam 15.00 hingga jam 21.00. Banyak yang datang kemari untuk duduk duduk menikmati pantai yang bersih, jogging disepanjang pedestrian sejauh 500m, atau makan di warung warung yang telah direlokasi oleh Pemda setempat (diujung paling selatan pantai). Tua muda akan datang kemari menikmati matahari terbenam disini sambil membeli makanan dari pedagang. Jika suka jogging, tempat ini juga sangat ideal. Udara bersih dan angin bertiup tanpa henti, matahari yang merah keemasan menyapu wajah manusia yang duduk bibir pantai.

Anjungan Pantai Objek Wisata Losari Makassar – Sulawesi Selatan

Pulau Samalona

Pulau Samalona merupakan wilayah Kota Makassar yang luasnya sekitar 2,34 hektar. Pulau ini merupakan salah satu objek wisata bahari yang banyak dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Kawasan pulau ini sangat bagus utuk menyelam, karena di sekelilingnya terdapat karang-karang laut yang dihuni beraneka ragam ikan tropis dan biota laut lainnya. Pulau ini berjarak sekitar 6,8 Km dari Kota Makassar yang dapat ditempuh sekitar 20 – 30 menit dengan menggunakan speed boot. Di lokasi ini juga terdapat beberapa penginapan sederhana berbentuk rumah panggung yang dapat menampung sekitar 20 orang. Selain itu, tersedia juga beberapa warung makanan yang menyediakan aneka ragam seafood segar.

Objek Wisata Pulau Samalona Sulawesi Selatan

Benteng Somba Opu

Benteng Somba Opu dibangun pada tahun 1525 oleh Sultan Gowa ke IX. Benteng ini merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan rempah-rempah yang ramai dikunjungi pedagang dari Asia dan Eropa. Pada tahun 1669, benteng ini dikuasai oleh VOC kemudian dihancurkan hingga terendam oleh ombak pasang. Tahun 1980-an, benteng ini ditemukan kembali oleh sejumlah ilmuawan. Dan pada tahun 1990, benteng ini direkonstruksi sehingga tampak lebih baik. Kini, Benteng Somba Opu menjadi sebuah objek wisata bersejarah di Kota Makassar yang di dalamnya terdapat beberapa bangunan rumah adat Sulawesi Selatan yang mewakili suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Selain itu, terdapat juga sebuah meriam dengan panjang 9 m dan berat 9.500 kg serta sebuah museum yang berisi benda-benda bersejarah peninggalan Kesultanan Gowa.

Objek Wisata Sejarah Benteng Somba Opu Sulawesi Selatan

Benteng / Fort Rotterdam

Fort Rotterdam ini awalnya dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa X dengan nama Benteng Ujung Pandang. Di dalamnya terdapat rumah panggung khas Gowa di mana Raja dan keluarganya tinggal. Pada saat Belanda menguasai are Banda dan Maluku, mereka mutuskan untuk manaklukkan Kerajaan Gowa agar armada dagang VOC dapat masuk dan merapat dengan mudah di Sulawesi. Dalam usahanya menaklukkan Gowa, Belanda menyewa pasukan dari Maluku. Selama setahun lebih Benteng digempur, akhirnya Belanda berhasil masuk serta menghancurkan rumah Raja dan seisi Benteng. Pihak Belanda memaksa sultan Hasanuddin untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667, dimana salah satu pasal dalam perjanjian tersebut mewajibkan Kerajaan Gowa menyerahkan Benteng kepada Belanda.
Setelah Benteng diserahkan kepada Belanda, Benteng kembali dibangun dan ditata sesuai dengan arsitektur Belanda kemudian namanya diubah menjadi Ford Rotterdam. Benteng ini kemudian digunakan sebagai pusat pemerintahan   dan penampungan rempah-rempah di Wilayah Indonesia Timur. Pada masa penjajahan Jepang, Benteng ini difungsikan sebagai pusat studi pertanian dan bahasa. Kemudian TNI dijadikan sebagai pusat komando.
Di dalam Benteng ini terdapat beberapa ruang tahanan/penjara yang slaah satunya digunakan untuk menahan Pangeran Diponegoro. Selain itu, terdapat juga sebuah gereja peninggalan Belanda dan Meseum La Galigo yang menyimpan kurang lebih 4.999 koleksi. Koleksi tersebut meliputi koleksi prasejarah, numismatic, keramik asing, sejarah, naskah, dan etnografi. Koleksi Etnografi ini terdiri dari berbagai jenis hasil teknologi, kesenian, peralatan hidup dan benda lain yang dibuat dan digunakan oleh suku Bugis, Makassar, Mandar, da Toraja. Saat ini, selain sebagai tempat wisata bersejarah, Benteng ini juga dijadikan sebagai pusat kebudayaan Sulawesi Selatan.

Objek Wisata Sejarah Fort Rotterdam Sulawesi Selatan

Makam Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari sultan Hamengku Buwono III Yogyakarta, yang lahir pada tanggal 1 Nopember 1785. Beliau aktif berjuang melawan penjajah di pulau Jawa tahun 1825-1830. Perang bermula dari penolakanya terhadap kebijaksanaan kolonial Belanda yang mengikat pajak dan pola aturan kepemilikan tanah yang tidak adil. Pada tahun 1845 beliau ditangkap dan dipenjarakan di benteng Rotterdam Makassar, kemudian diasingkan ke Manado, setelah beberapa saat di Manado beliau dikembalikan lagi ke Makassar dan wafat tanggal 8 Januari 1855 di Makassar. Makam Pangeran Diponegoro, yang berdampingan dengan istrinya, Raden Ayu (RA) Ratna Ningsih cukup menonjol dibanding makam lainnya. Makam setinggi dua meter itu dilengkapi cungkup berbentuk bangunan khas Jawa yang bergaya Joglo. Terletak di Jl. Diponegoro No.55 kelurahan Melayu Kec. Wajo. Dapat dijangkau dengan berbagai macam kendaraan, dekat dengan pusat perbelanjaan.

Makam Pangeran Diponegoro Sulawesi Selatan



read more

Objek Wisata di Kabupaten Maros

Air Terjun Bantimurung
Kawasan ini terletak di lembah bukit kapur / karas yang curam dengan vegetasi tropis yang subur, sehingga selain memiliki air terjun yang spektakuler juga menjadi habitat yang ideal bagi berbagai spesies kupu-kupu, burung dan serangga endemik yang langka. Air Terjun ini memiliki lebar 20 meter dan tinggi 15 meter. Di bawah curahan air terjun terdapat sebuah tempat pemandian dari landasan batu kapur yang keras dan tertutup lapisan mineral akibat aliran air selama ratusan tahun. Di sebelah kiri air terjun terdapat tangga beton setinggi 10 meter yang merupakan jalan menuju dua gua yang ada di sekitar air terjun, yaitu Gua Mimpi dan Gua Batu. Tempat ini berada di Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Taman Prasejarah Leang-Leang
Terletak pada deretan bukit kapur yang curam. Para arkeolog berpendapat bahwa beberapa gua yang terdapat di area ini pernah dihuni oleh manusia purba sekitar 3000 – 8000 tahun sebelum masehi, ditandai dengan terdapatnya lukisan-lukisan pra sejarah yang terdapat di dinding gua berupa gambar babi rusa, dan gambar telapak tangan. Selain itu juga ditemukan benda laut berupa karang yang menandakan bahwa gua tersebut pernah tenggelam dan dikelilingi oleh lautan. Taman Prasejarah Leang-Leang terletak sekitar 11 km dari di Kabupaten Maros.







Tempat Wisata Maros
Goa Pattunuang Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Samangki, Simbang, dengan stalaktit dan stalakmit, ada batu besar berbentuk perahu yang disebut Biseang Labbororo (perahu terdampar), dengan panorama alam indah.
Makam Kassi Kebo Maros
Tempat Wisata Maros di Jl. Taqwa, Desa Baju Bodoa, Kec Turikale, yang merupakan kompleks pekuburan Karaeng Marusu dan keluarganya.
Makam Karaeng Simbang Maros
Tempat Wisata Maros di di Desa Samangki, Kec Simbang, yang merupakan kompleks pekuburan Karaeng Simbang beserta keluarganya.
Pantai Kuri Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, 23 km dari Kota Makassar, dengan pasir putih di sepanjang pantai, dan pemandangan matahari terbenam. Namun aksesnya kurang baik.
Pendopo Pallantikang Karaeng Marusu Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Pallantikang, Kecamatan Turikale, yang merupakan tempat pelantikan Karaeng Marusu pada masa kerajaan masih ada.
Rumah Adat Karaeng Loe Ripakere Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Pakere, Kecamatan Simbang, yang semula merupakan istana Karaeng Loe Ripakere, Raja Marusu pertama yang berkuasa sekitar abad XV.
Situs Prasejarah Leang-leang Maros
Tempat Wisata Maros di Kelurahan Kallabirang, Kecamatan Bantimurung, 30 menit dari Bantimurung, dengan goa di perbukitan kapur yang pernah dihuni manusia purba bergambar babi rusa dan telapak tangan.
Situs Prasejarah Leang Akkarrasa Rammang-rammang Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Salenrang, Kec Bontoa, berupa dua buah gua dengan peninggalan prasejarah berupa lukisan cakra, babi rusa, ikan dan lukisan perahu.
Taman Safari Pucak Maros
Tempat Wisata Maros di Desa Pucak, Kec Tanralili, 20 km dari Kota Maros, 39 km dari Kota Makassar, seluas 150 Ha, yang terhenti pembangunannya saat Orde Baru runtuh, dan berubah menjadi agrowisata.


 





Air terjun Bantimururng                    Gua jodoh

 








Air terjun bantimurung                    Gua jodoh













Leang-leang                        Gua batu
Goa Batu Bantimurung berada di kawasan wisata Taman Nasional Bantimurung, terletak sekitar 800 meter dari air terjun Bantimurung. Jalan menuju ke goa berada di sebelah kiri air terjun, dengan terlebih dahulu menaiki tangga beton setinggi 10 meter.

Goa ini berdekatan dengan Danau Toalaka, danau indah dan tenang tetapi sering memakan korban sehingga dipagari kawat dan tertutup bagi pengunjung.

Sebelum masuk ke Gua Batu Bantimurung, ada baiknya pengunjung menyewa senter atau lampu petromax untuk membantu penerangan saat menjelajahi lorong goa yang gelap.

Harga sewa senter sebesar Rp 10.000 dan lampu petromax sebesar Rp 50.000. Selain itu sediakan sedikit tip untuk pemandu yang sekaligus akan memegang lampu petromax.

Bagian dalam goa dihiasi stalaktit dan stalagmit dengan bentuk-bentuk yang indah. Keberadaan goa yang juga dikenal dengan nama Goa Jodoh ini disertai dengan cerita-cerita mistis. Pada dinding dalam goa terdapat sebuah tempat berupa cekungan yang dipercaya bisa memperlancar jodoh. Pengunjung yang percaya dengan hal seperti ini biasanya akan membawa pasangan yang ingin dinikahi, lalu bersama-sama naik ke cekungan untuk memanjatkan doa. Di sudut goa ada juga sebuah tempat yang katanya sebagai tempat bertapa raja Bantimurung. Lalu ada sumber air tawar berkhasiat yang konon jika digunakan membasuh muka akan membuat awet muda.

Kawasan Wisata Alam Bantimurung sendiri berada sekitar 20 kilometer dari Bandara Hasanuddin, 15 kilometer dari kota Maros dan 50 kilometer dari kota Makasar


read more

SITUS SEJARAH KABUPATEN SOPPENG

Kabupaten Soppeng adalah salah satu Kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Watansoppeng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.359,44 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 222.798 jiwa (2004).

Sejarah
Sejarah Soppeng diawali dengan munculnya "Tomanurung" dalam istilah bahasa Indonesia dikenal sebagai orang yang muncul seketika. Saat itu, masyarakat Soppeng tengah dilanda kegetiran dan kemiskinan ditambah dengan penderitaan rakyat, maka berkumpullah tokoh-tokoh masyarakat "tudang sipulung" untuk membahas masalah ini, di tengah pembicaraan mereka, seekor burung kakak tua (dalam bahasa Bugis dikenal sebagai "cakkelle"). Cakkelle ini terbang tepat di atas perkumpulan itu, sehingga para tokoh yang melihatnya merasa ada sesuatu yang lain dari cakkelle ini. Akhirnya pimpinan tudang sipulung menyuruh si Jumet, salah seorang toko masyarakat bersama dengan rekannya yang lain untuk mengikuti cakkelle tersebut.[rujukan?]
Geografis

Jembatan di atas sungai Walanae dekat Watansoppeng (tahun 1925-1927)
Soppeng terletak pada depresiasi sungai Walanae yang terdiri dari daratan dan perbukitan dengan luas daratan ± 700 km2 serta berada pada ketinggian rata-rata antara 100-200 m di atas permukaan laut.
Luas daerah perbukitan Soppeng kurang lebih 800 km2 dan berada pada ketinggian rata-rata 200 m di atas permukaan laut. Ibukota Kabupaten Soppeng adalah kota Watansoppeng yang berada pada ketinggian 120 m di atas permukaan laut.
Kabupaten Soppeng tidak memiliki wilayah pantai. Wilayah perairan hanya sebagian dari Danau Tempe. Gunung-gunung yang ada di wilayah Kabupaten Soppeng menurut ketinggiannya adalah sebagai berikut:
  • Gunung Nene Conang 1.463 m
  • Gunung Laposo 1000 m
  • Gunung Sewo 860 m
  • Gunung Lapancu 850 mGunung Bulu Dua 800 m
  • Gunung Paowengeng 760 m
Kabupaten Soppeng memiliki tempat-tempat wisata berupa permandian air panas alami yang bernama "LEJJA", permandian mata air "OMPO" dan permandian alam "CITTA". Lejja berjarak ± 40 Kilometer dari pusat kota, terletak di desa Batu-batu, Kecamatan Marioriawa.
Kecamatan
Wilayah Kabupaten Soppeng dibagi menjadi 8 kecamatan, yaitu:
  • Citta
  • Donri Donri
  • Ganra
  • Lalabata
  • Liliriaja
  • Lilirilau
  • Marioriawa
  • Marioriwawo


read more

SITUS SEJARAH KABUPATEN BARRU

Sejarah Kabupaten Barru
    Kabupaten Barru dahulu sebelum terbentuk adalah sebuah kerajaan kecil yang masing - masing dipimpin oleh seorang Raja yaitu : Kerajaan Berru (Barru), Kerajaan Tanete,Kerajaan Soppeng Riaja dan Kerajaan Mallusetasi.
    Dimasa pemerintahan Belanda dibentuk Pemerintahan Sipil Belanda dimana wilayah Kerajaan Berru, Tanete dan Soppeng Riaja dimasukkan dalam wilayah ONDER AFDELLING BARRU,yang bernaung dibawah AFDELLING PARE PARE sebagai kepala Pemerintahan Onder Afdelling diangkat seorang control Belanda yang berkedudukan di Barru, sedangkan ketiga bekas kerajaan tersebut diberi status sebagai Self Bestuur (Pemerintahan Kerajaan Sendiri) yang mempunyai hak otonom untuk menyelenggarakan Pemerintahan sehari-hari baik terhadap eksekutif maupun dibidang yudikatif. 
    Dari sejarahnya, sebelum menjadi daerah-daerah Swapraja pada permulaan Kemerdekaan Bangsa Indonesia, keempat wilayah Swapraja ini merupakan 4 bekas Selfbestuur didalam Afdeling Pare-Pare masing-masing:
Bekas Selbesteuur Mallusetasi yang daerahnya sekarang menjadi kecamatan MalluseTasi dengan Ibu Kota Palanro. Adalah penggabungan bekas-bekas Kerajaan Lili dibawah kekuasan Kerajaan Ajattapareng oleh Belanda sebagai Selfbestuur, ialah Kerajaan Lili Bojo dan Lili Nepo.
Bekas selfbestuur Soppeng Riaja yang merupakan penggabungan 4 Kerajaan Lili dibawah bekas Kerajaan Soppeng (Sekarang Kabupaten Soppeng) Sebagai Satu Selfbestuur, ialah bekas Kerajaan Lili Siddo, Lili Kiru-Kiru, Lili Ajakkang, dan lili Balusu.
Bekas Selfbestuur Barru yang sekarang menjadi Kecamatan Barru dengan lbu Kotanya Sumpang Binangae yang sejak semula memang merupakan suatu bekas kerajaan kecil yang berdiri sendiri.
Bekas Selbestuur Tanete dengan pusat Pemerintahannya di Pancana daerahnya sekarang menjadi 3 Kecamatan masing-masing Kecamatan Tanete Rilau, Kecamatan Tanete Riaja, Kecamatan Pujananting.
    Seiring dengan perjalanan waktu,maka pada tanggal 24 Pebruari 1960 merupakan tongkak sejarah yang menandai awal kelahiran Kabupaten Daerah TK.II Barru dengan Ibukota Barru berdasarkan Undang-Undang Nomor 229 tahun 1959 tentang pembentukan Daerah-Daerah Tk. II di Sulawesi Selatan. Kabupaten Barru terbagi dalam 7 Kecamatan dan 54 Desa/Kelurahan.
    Sebelum dibentuk sebagai suatu Daerah Otonom berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959 pada tahun 1961, Daerah ini terdiri dari 4 Wilayah Swapraja didalam kewedanaan Barru Kabupaten Pare-Pare lama, masing-masing Swapraja Barru Swapraja Tanete, Swapraja Soppeng Riaja dan bekas Swapraja Mallusetasi, Ibu Kota Kabupaten Barru sekarang bertempat di bekas ibu Kota Kewedanaan Barru.
    Kabupaten Barru yang dikenal dengan motto HIBRIDA ( Hijau,Bersih,Asri dan Indah) adalah salah satu Kabupaten yang terletak dipesisir Pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan dengan garis pantai sekitar 78 Km.Secara Geografis terletak diantara Koordinat 4'0.5'35" lintang selatan dan 199'35" - 119'49'16" Bujur Timur dengan luas wilayah 1.174,72 Km2 (117.472 Ha) dan berada kurang lebih 102 Km sebelah utara Kota Makassar Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan, yang dapat ditempuh melalui perjalanan darat kurang lebih 2,5 jam .Kabupaten Barru secara Administratif terbagi atas 7 kecamatan, 14 Kelurahan dan 40 Desa sebagaimana pada tabel dibawah yang mempunyai batas - batas wilayah :
Sebelah Utara dengan Kota Pare-Pare dan Kabupaten Sidrap
Sebelah Timur dengan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Bone
Sebelah Selatan dengan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
Sebelah Barat dengan selat Makassar.
    Kabupaten Barru terletak pada jalan Trans Sulawesi dan merupakan daerah lintas Wisata yang terletak antara Kota Makassar dan Kota Pare-Pare menuju Kabupaten Tana Toraja sebagai daerah tujuan wisata dari Mancanegara.
  
    Kabupaten Barru mempunyai ketinggian antara 0-1.700 meter diatas permukaan laut dengan bentuk permukaan sebahagian besar daerah kemiringan,berbukit hingga bergunung - gunung dan sebahagian lainnya merupakan daerah datar hinggi landai.  Di Kabupaten Barru terdapat seluas 71,79 % wilayah ( 84.340 Ha) dengan tipe iklim C yakni mempunyai bulan basah berturut-turut 5-6 bulan (Oktober - Maret) dan bulan Kering berturut-turut kurang dari 2 bulan (April - September). Total hujan selama setahun di Kabupaten Barru sebanyak 113 hari dengan jumlah curah hujan sebesar 5.252 mm.Curah hujan di kabupaten Barru berdasarkan hari hujan terbanyak pada bulan Desember - Januari dengan jumlah curah hujan 1.335 mm dan 1.138 mm sedangkan hari hujan masing-masing 2 hari dengan jumlah curah hujan masing- masing 104 mm dan 17 mm.





read more

Objek Wisata di Kabupaten Tana Toraja

Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja. Atapnya melengkung menyerupai perahu, terdiri atas susunan bambu (saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng). Di bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan dapur. Tongkonan digunakan juga sebagai tempat untuk menyimpan mayat. Tongkonan berasal dari kata tongkon (artinya duduk bersama-sama). Tongkonan dibagi berdasarkan tingkatan atau peran dalam masyarakat (stara sosial Masyarakat Toraja). Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon palem (bangah) saat ini sebagian sudah dicor. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari, yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.
Tongkonan Pallawa adalah salah satu tongkonan yang berada di antara pohon-pohon bambu di puncak bukit. Tongkonan tersebut didekorasi dengan sejumlah tanduk kerbau yang ditancapkan di bagian depan rumah adat. Terletak sekitar 12 Km ke arah utara dari Rantepao.

Londa

Londa adalah bebatuan curam di sisi makam khas Tana Toraja. Salah satunya terletak di tempat yang tinggi dari bukit dengan gua yang dalam dimana peti-peti mayat diatur sesuai dengan garis keluarga, di satu sisi bukit lainya dibiarkan terbuka menghadap pemandangan hamparan hijau. Londa terletak de Desa Sendan Uai, Kecamatan Sanggalai, sekitar 5 Km ke arah selatan dari Rantepao, Tana Toraja.



Ke'te Kesu

Ke’te Kesu berarti pusat kegiatan, dimana terdapatnya perkampungan, tempat kerajinan ukiran, dan kuburan. Pusat kegiatannya adalah berupa deretan rumah adat yang disebut Tongkonan, yang merupakan obyek yang mempesona di desa ini. Selain Tongkonan, disini juga terdapat lumbung padi dan bangunan megalith di sekitarnya. Sekitar 100 meter di belakang perkampungan ini terdapat situs pekuburan tebing dengan kuburan bergantung dan tau-tau dalam bangunan batu yang diberi pagar. Tau-tau ini memperlihatkan penampilan pemiliknya sehari-hari. Perkampungan ini juga dikenal dengan keahlian seni ukir yang dimiliki oleh penduduknya dan sekaligus sebagai tempat yang bagus untuk berbelanja souvenir. Terletak sekitar 4 Km dari tenggara Rantepao.

Batu Tumonga

Di kawasan ini anda dapat menemukan sekitar 56 batu menhir dalam satu lingkaran dengan 4 pohon di bagian tengah. Kebanyakan batu menhir memiliki ketinggian sekitar 2 – 3 meter. Dari tempat ini anda dapat melihat keindahan Rantepao dan lembah sekitarnya. Terletak di daerah Sesean dengan ketinggai 1300 Meter dari permukaan laut.





Lemo

Lemo merupakan sebuah kuburan yang dibuat di bukit batu. Bukit ini dinamakan Lemo karena bentuknya bulat menyerupai buah jeruk (limau). Di bukit ini terdapat sekitar 75 lubang kuburan dan tiap lubangnya merupakan kuburan satu keluarga dengan ukuran 3 X 5 M. Untuk membuat lubang ini diperlukan waktu 6 bulan hingga 1 tahun dengan biaya sekitar Rp. 30 juta. Tempat ini sering disebut sebagai rumah para arwah. Di pemakaman Lemo anda dapat melihat mayat yang disimpan di udara terbuka, di tengah bebatuan yang curam. Kompleks pemakaman ini merupakan perpaduan antara kematian, seni dan ritual. Pada waktu-waktu tertentu pakaian dari mayat-mayat akan diganti dengan melalui upacara Ma Nene. Kuburan Batu Lemo ini terletak di sebelah utara Makale, Kabupaten Tana Toraja.
Kuburan Bayi Kambira

Di kuburan ini, bayi yang meninggal sebelum giginya tumbuh dikuburkan di dalam sebuah lubang yang dibuat di pohon Tarra’. Bayi ini dianggap masih masih suci. Pohon Tarra’ dipilih sebagai tempat penguburan bayi, karena pohon ini memiliki banyak getah yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Dengan menguburkan di pohon ini, orang-orang Toraja menganggap bayi ini seperti dikembalikan ke rahim ibunya dan mereka berharap pengembalian bayi ini ke rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang akan lahir kemudian.
Pohon Tarra’ memiliki diameter sekitar 80 – 100 cm dan lubang yang dipakai untuk menguburkan bayi ditutup dengan ijuk dari pohon enau. Pemakaman seperti ini dilakukan oleh orang Toraja pengikut ajaran kepercayaan kepada leluhur. Upacara penguburan ini dilaksanakan secara sederhana dan bayi yang dikuburkan tidak dibungkus dengan kain, sehingga bayi seperti masih berada di rahim ibunya.
Kuburan ini terletak di Desa Kambira, tidak jauh dari Makale, Tana Toraja.

Arung Jeram Sungai Sa’dan

Sungai Sa’dan memiliki panjang sekitar 182 km dan lebar rata-rata 80 meter serta memiliki anak sungai sebanyak 294. Di sepanjang Sungai ini terdapat beberapa jeram dengan tingkat kesulitan yang berbeda, seperti jeram Puru’ dengan kategori tingkat kesulitan III; jeram Pembuangan Seba dengan kategori tingkat kesulitan IV, yaitupermukaan air di pinggir sungai yang lebar dan tiba-tiba menyempit dengan cepat; jeram Fitri dengan kategori tingkat kesulitan V, yaitu berupa patahan dan arus sungai yang menabrak batu besar yang dapat menyebabkan perahu menempel di batu dan terjebak diantaranya. Selain itu, topografi daerah ini juga sangat menarik dengan keindahan alam dan udara yang sejuk di sepanjang perjalanan.
Lokasi Sungai Sa’dan ini dimulai dari jembatan gantung di Desa Buah Kayu kabupaten Tana Toraja dan berakhir di jembatan Pappi Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Upacara Adat Rambu Solo

Rambu Solo dalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman bahkan selalu diajak berbicara.

Puncak dari upacara Rambu solo ini dilaksanakan disebuah lapangan khusus. Dalam upacara ini terdapat beberapa rangkaian ritual, seperti proses pembungkusan jenazah, pembubuhan ornament dari benang emas dan perak pada peti jenazah, penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan, dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.
Selain itu, dalam upacara adat ini terdapat berbagai atraksi budaya yang dipertontonkan, diantaranya adu kerbau, kerbau-kerbau yang akan dikorbankan di adu terlebih dahulu sebelum disembelih, dan adu kaki. Ada juga pementasan beberapa musik dan beberapa tarian Toraja.
Kerbau yang disembelih dengan cara menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan, ini merupakan ciri khas masyarakat Tana Toraja. Kerbau yang akan disembelih bukan hanya sekedar kerbau biasa, tetapi kerbau bule “Tedong Bonga” yang harganya berkisar antara 10 – 50 juta per ekornya.
Upacara adat ini biasanya dilaksanakan di Kampung Bonoran, Desa Ke’te’ Kesu’, Kecamatan Kesu’, Tana Toraja.



read more

Tempat Wisata Pangkep

Dalam tugas sejarah ini, akan dijelaskan beberapa tempat wisata di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Penjelasan ini dibagi menjadi 2, yaitu: Wisata Bahari, dan Wisata Purbakala.
A. Wisata Bahari
a. Taman Laut Kapoposang  
    Wisata bahari di Pulau Kapoposang kecamatan Liukang Tupabiring telah dikelola oleh pihak swasta bekerjasama dengan Pemkab Pangkep. Disamping pantai pasir putih serta laut yang tenang, juga akan disuguhi taman laut berupa terumbu karang berbagai jenis yang dilengkapi dengan ikan hias beraneka warna.  Selain menyuguhkan alam pantai yang natural, juga dilengkapi dengan berbagai perlengkapan untuk menyelam (diving) dan snorkling.
 











b. Taman rekreasi dan permandian alam Mattampa
    Untuk permandian alam Mattampa yang berada dalam kawasan wisata Mattampa, kini tengah ditata. Sebagai kawasan wisata, dilengkapi dengan dua kolam renang yang berskala nasional, taman permainan, gua bersejarah hingga museum karts yang memiliki koleksi buku-buku karts.


c. Taman Purbakala Sumpang Bita
    Bertempat di Kecamatan Balocci. Di kawasan ini, yang menjadi obyek utama adalah tangga seribu yang dipuncaknya memiliki gua peninggalan bersejarah berupa tapak tangan dan kaki para nenek moyang.
        Dalam areal obyek wisata ini, merupakan perpaduan antara wisata agro yang memiliki tanaman berbaga macam serta taman yang indah.




B. Wisata Purbakala
 a. Leang Pa'niki
    Obyek wisata yang berada di kawasan Resort Tondong Tallasa Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I yakni obyek wisata penelusuran gua alam Leang Pa’niki. Leang Pa’niki merupakan gua berair untuk melakukan eksplorasi di butuhkan peralatan pendukung penelusuran gua serta perahu karet atau pelampung. Ornamen-ornamen yang terdapat dalam gua sangat indah dan menakjubkan. Penelusuran gua ini hanya di peruntukkan bagi kegiatan wisata minat khusus.

b. Leang Lonrong
    Leang Lonrong merupakan gua alam di dalam gua terdapat sungai bawah tanah yang keluar melalui mulut gua leang lonrong dengan debit air cukup stabil sepanjang tahun, gua ini cukup panjang dan luas. Selain sebagai tempat wisata tirta, air yang keluar dari dalam gua dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar gua dan PT. Semen Tonasa dalam memnuhi kebutuhan air bersih. Fasilitas pendukung kegiatan wisata yang telah ada diantaranya kolam permandian, shelter, baruga, jembatan penyeberangan dan tempat ganti pakaian. Lokasi Leang Lonrong secara adminstraslil pemerintahan berada di Desa Panaikang Kecamatan Balocci Kabupaten Pangkep.

c. Leang Kassi
     Leang Kassi merupakan situs prasejarah yang terdapat Di wilayah Resort Minasate’ne. Di Resort Minasatene memang terdapat beberapa situs prasejerah diantaranya Leang Kassi, Leang Lompoa dan Sakapao. Situs-situs prasejarah ini berada dalam satu gugusan karst yang letaknya agak berdekatan dan tidak jauh dari jalan poros, selain itu situs-situs prasejarah telah dilengkapi fasilititas pendukung seperti jalan trail, papan informasi, papan petunjuk, shelter dan pagar pengaman.





   
    Leang ini di kelola oleh Dinas Pelestarian dan Peninggalan Prubakala (BP3) Mks, leang kassi memiliki sumber mata air yang dimanfaatkan sebagai sumber air bersih oleh PDAM Kab. Pangkep dan irigasi. Selain itu sumber air leang kassi dijadikan juga sebagai permandian alam, bagi masyarakat. Setiap hari minggu permandian ini ramai dikunjungi pengunjung baik masyarakat sekitar maupun masyarakat lokal. Dipermandian alam ini kita juga dapat menikmati terapi ikan garra rufa namun oleh masyarakat sekitar ikan ini lazim disebut ikan Pai-Pai.
d. Leang Lompoa (Tapak Prasejarah di Leang Sakapao)
    Gua ini berada di atas tebing karst Minasate’ne memiliki gambar-gambar peninggalan prasejarah berupa gambar babirusa dan telapak tangan yang menurut beberapa pakar arkeologi kualitas gambarnya jauh lebih baik dibandingkan dengan yang ada di kawasan Taman Purbakala Leang-Leang

C. Jenis tempat wisata dan jumlahnya
Jenis lokasi rekreasi/wisata yang ada :
  • Gua 30 obyek
  • Kolam renang 12 obyek
  • Air terjun 4 obyek
  • Pegunungan 16 obyek
  • Sungai 7 obyek
  • Berikut ini beberapa tempat wisata di Kabupaten Pangkep.
  • Permandian alam Mattampa
  • Taman Purbakala Sumpang Bitta
  • Leang Bulu Ballang
  • Leang Kassi
  • Pantai Biring Kassi
  • Alam Tabo-tabo
  • Permandian Pasanggang
  • Permandian Amputtang
  • Air Terjun Gollaya
  • Air Terjun Guda Tagari
  • Permandian Ere Tallasa
  • Permandian Leang Lonrong
  • Permandian Senggerang
  • Pasir Putih Pulau Langkadeya
  • Pulau Camba-Cambayya
  • Taman Laut Sabalana
  • Pulau Burung (Saregge)
  • Lapangan Golf Tonasa




















read more

SITU SEJARAH KOTAMADYA PARE-PARE


Kota Parepare adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 99,33 km² dan berpenduduk sebanyak ±140.000 jiwa. Salah satu tokoh terkenal yang lahir di kota ini adalah B. J. Habibie, presiden ke-3 Indonesia.

Di awal perkembangannya, dataran tinggi yang sekarang ini disebut Kota Parepare, dahulunya adalah merupakan semak-semak belukar yang diselang-selingi oleh lubang-lubang tanah yang agak miring sebagai tempat yang pada keseluruhannya tumbuh secara liar tidak teratur, mulai dari utara (Cappa Ujung) hingga ke jurusan selatan kota. Kemudian dengan melalui proses perkembangan sejarah sedemikian rupa dataran itu dinamakan Kota Parepare.
Lontara Kerajaan Suppa menyebutkan, sekitar abad XIV seorang anak Raja Suppa meninggalkan Istana dan pergi ke selatan mendirikan wilayah tersendiri pada tepian pantai karena memiliki hobi memancing. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai kerajaan Soreang, kemudian satu lagi kerajaan berdiri sekitar abad XV yakni Kerajaan Bacukiki.
Kata Parepare ditenggarai sebagian orang berasal dari kisah Raja Gowa, dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tonapaalangga (1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini dan spontan menyebut “Bajiki Ni Pare” artinya “(Pelabuhan di kawasan ini) di buat dengan baik”. Parepare ramai dikunjungi termasuk orang-orang Melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.
Kata Parepare punya arti tersendiri dalam bahasa Bugis, kata Parepare bermakna " Kain Penghias " yg digunakan diacara semisal pernikahan, hal ini dapat kita lihat dalam buku sastra lontara La Galigo yang disusun oleh Arung Pancana Toa Naskah NBG 188 yang terdiri dari 12 jilid yang jumlah halamannya 2851, kata Parepare terdapat dibeberapa tempat diantaranya pada jilid 2 hal [62] baris no. 30 yang berbunyi " pura makkenna linro langkana PAREPARE" (KAIN PENGHIAS depan istana sudah dipasang).
Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di depannya, serta memang sudah ramai dikunjungi orang-orang, maka Belanda pertama kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda bermarkas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara Sulawesi Selatan. Hal ini yang berpusat di Parepare untuk wilayah Ajatappareng.
Pada zaman Hindia Belanda, di Kota Parepare, berkedudukan seorang Asisten Residen dan seorang Controlur atau Gezag Hebber sebagai Pimpinan Pemerintah (Hindia Belanda) dengan status wilayah pemerintah yang dinamakan “Afdeling Parepare” yang meliputi, Onder Afdeling Barru, Onder Afdeling Sidenreng Rappang, Onder Afdeling Enrekang, Onder Afdeling Pinrang dan Onder Afdeling Parepare.
Pada setiap wilayah/Onder Afdeling berkedudukan Controlur atau Gezag Hebber. Disamping adanya aparat pemerintah Hindia Belanda tersebut, struktur Pemerintahan Hindia Belanda ini dibantu pula oleh aparat pemerintah raja-raja bugis, yaitu Arung Barru di Barru, Addatuang Sidenreng di Sidenreng Rappang, Arung Enrekang di Enrekang, Addatung Sawitto di Pinrang, sedangkan di Parepare berkedudukan Arung Mallusetasi.
Struktur pemerintahan ini, berjalan hingga pecahnya Perang Dunia II yaitu pada saat terhapusnya Pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1942. Pada zaman kemerdekaan Indonesia tahun 1945, struktur pemerintahan disesuaikan dengan undang-undang no. 1 tahun 1945 (Komite Nasional Indonesia). Dan selanjutnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1948, dimana struktur pemerintahannya juga mengalami perubahan, yaitu di daerah hanya ada Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) dan tidak ada lagi semacam Asisten Residen atau Ken Karikan.
Pada waktu status Parepare tetap menjadi Afdeling yang wilayahnya tetap meliputi 5 Daerah seperti yang disebutkan sebelumnya. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan dan pembagian Daerah-daerah tingkat II dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, maka ke empat Onder Afdeling tersebut menjadi Kabupaten Tingkat II, yaitu masing-masing Kabupaten Tingkat II Barru, Sidenreng Rappang, Enrekang dan Pinrang, sedangkan Parepare sendiri berstatus Kota Praja Tingkat II Parepare. Kemudian pada tahun 1963 istilah Kota Praja diganti menjadi Kotamadya dan setelah keluarnya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka status Kotamadya berganti menjadi “KOTA” sampai sekarang ini.
Didasarkan pada tanggal pelantikan dan pengambilan sumpah Walikotamadya Pertama H. Andi Mannaungi pada tanggal 17 Februari 1960, maka dengan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah No. 3 Tahun 1970 ditetapkan hari kelahiran Kotamadya Parepare tanggal 17 Februari 1960.









read more

Kabupaten Luwu Utara

Kabupaten Luwu Utara adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Masamba. Luwu Utara terletak pada koordinat 2°30'45"–2°37'30"LS dan 119°41'15"–121°43'11" BT. Secara geografis kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Sulawesi Tengah di bagian utara, Kabupaten Luwu Timur di sebelah timur, Kabupaten Luwu di sebelah selatan dan Kabupaten Mamuju di sebelah barat.
Kabupaten Luwu Utara yang dibentuk berdasarkan UU No. 19 tahun 1999 dengan ibukota Masamba merupakan pecahan dari Kabupaten Luwu. Saat pembentukannya daerah ini memiliki luas 14.447,56 km2 dengan jumlah penduduk 442.472 jiwa. Dengan terbentuknya kabupaten Luwu Timur maka saat ini luas wilayahnya adalah 7.502,58 km2.
Secara administrasi terdiri 11 kecamatan 167 desa dan 4 kelurahan. Penduduknya berjumlah 250.111 jiwa (2003) atau sekitar 50.022 Kepala Keluarga yang sebagian besar (80,93%) bermata pencaharian sebagai petani, namun kontribusi sektor ini terhadap PDRB Kabupaten Luwu Utara pada tahun 2003 hanya 33,31% atau sebanyak Rp. 4,06 triliun.
Sejarah
Desa kecil di bibir Danau Matano itu tak lagi menjadi desa yang sunyi. Desa yang berjarak sekitar 600 kilometer di sebelah timur laut Makassar itu rupanya menyimpan kekayaan alam yang luar biasa, berupa kandungan deposit nikel yang tak habis dieksploitasi hingga puluhan tahun.PT International Nickel Indonesia (Inco) beruntung mendapatkan daerah itu, dan pada tahun 1968 memperoleh kontrak karya untuk menambang. Sejak itu, Desa Soroako yang terletak di Kecamatan Nuha seakan tak pernah sepi dari suara ekskavator berukuran raksasa yang terus berderu mengais isi Bumi.itu, 54,17 persen berada di wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), selebihnya berada di Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Sulawesi Tengah (Sulteng). Produknya yang mencapai ratusan juta pon (puluhan ribu ton) dalam bentuk nikel matte terutama diekspor ke Jepang. Kegiatan eksplorasi tidak saja menjadi tambang dollar bagi Sulsel, tetapi juga menjadi andalan utama bagi kabupaten yang menaunginya kini, yaitu Luwu Timur.Kabupaten ini semula bagian dari Kabupaten Luwu Utara dan baru diresmikan sebagai daerah otonom pada 25 Februari 2003 lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003. Sebagai kabupaten yang baru seumur jagung, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur masih berbenah. Belum terbentuknya DPRD membuat kabupaten ini belum memiliki lambang daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta Dana Alokasi Umum (DAU). Berbagai data yang menyangkut perekonomian Luwu Timur sebagian besar masih belum dipisahkan dari kabupaten induk, Kabupaten Luwu Utara. Karena itu, data yang ditampilkan di sini pun sebagian besar masih berasal dari Luwu Utara.bagian dari Kabupaten Luwu Utara, pertambangan memang memberikan sumbangan yang besar bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Luwu Utara. Tahun 2001 sektor ini mempunyai peranan sebesar 57,86 persen. Penambangan nikel di Desa Soroako menjadi penyumbang terbesar.
Keberadaan PT Inco tak dimungkiri memang menjadi ladang pemasukan kas daerah, terutama melalui bagi hasil pajak serta dari pajak bumi dan bangunan (PBB), yang pada tahun 2001 mencapai Rp 4,8 miliar.Kini, setelah Luwu Timur menjadi kabupaten otonom, dan Desa Soroako termasuk dalam wilayahnya, otomatis tambang dollar itu menjadi milik Luwu Timur. PDRB 2002 Luwu Timur menunjukkan kontribusi sektor pertambangan mencapai 69,51 persen, disusul sektor pertanian 25,62 persen. Sektor pertambangan tetap memegang peran penting bagi struktur perekonomian Luwu Timur.Kegiatan penambangan itu juga membawa perubahan besar, khususnya bagi Desa Soroako yang telah berkembang menjadi kawasan eksklusif. Walau letak Soroako terpencil di perbatasan tiga provinsi, Sulsel, Sultra, dan Sulteng, sarana komunikasi di desa itu tak memerlukan sambungan telepon interlokal, baik dari Makassar maupun Jakarta. Sebab, nomor telepon untuk kawasan PT Inco berkode area Makassar dan Jakarta. Infrastruktur di wilayah ini juga terbilang bagus. Jalan beraspal mulus dan fasilitas listrik yang terbilang royal.Sayangnya, segala fasilitas itu hanya bisa dinikmati di kawasan PT Inco dan permukiman karyawannya, serta program pembangunan masyarakat PT Inco yang baru bisa dinikmati sebagian penduduk yang tinggal di sekitar wilayah itu. Sementara di Kecamatan Towuti ada beberapa desa yang belum menikmati benderangnya cahaya lampu listrik. Desa Tokalimbo, Bantilang, dan Loeha, misalnya, walau sudah menikmati listrik, masih terbatas dari pukul 18.00-06.00.
Bahkan, Desa Mahalona belum terjamah listrik sama sekali. Semua desa itu terletak di seberang Danau Matano, berseberangan dengan Desa Soroako.Penduduk Luwu Timur sebagian besar menggantungkan hidup dari lahan usaha pertanian. HasilSurvei Tenaga Kerja Daerah tahun 2002 menunjukkan, sektor pertanian menyerap 70,37 persen dari total 62.289 tenaga kerja. Tanah dan cuaca Luwu Timur memang sangat cocok untuk usaha pertanian dan perkebunan. Di Kecamatan Mangkutana, misalnya, saat masih menjadi bagian dari Kabupaten Luwu Utara, kecamatan ini merupakan produsen padi terbesar kabupaten itu. Tahun 2001 padi dari kecamatan ini memberi kontribusi sebesar 13,62 persen dari total produksi padi di Luwu Utara.jagung terluas di Kecamatan Burau mencapai 1.067 hektar, kedelai di Kecamatan Malili seluas 30 hektar, dan tanaman buah-buahan, seperti pisang, jeruk, dan durian.Kelapa sawit menjadi andalan kabupaten ini. Lahan perkebunan terdapat di Kecamatan Burau, Tomoni, dan Wotu. Selain perkebunan rakyat, kelapa sawit juga dikelola perkebunan besar swasta nasional dan perkebunan negara yang terbagi dalam perkebunan inti dan plasma. Perkebunan kelapa sawit milik rakyat tersebar di Kecamatan Mangkutana, Angkona, Malili, Tomoni, Burau, dan Wotu.
Meski di beberapa desa-terutama di desa-desa yang berada di seberang Danau Towuti-infrastruktur jalan dan transportasi belum tembus hingga ke sana, secara umum infrastruktur jalan dan transportasi bisa dibilang cukup memadai. Semua potensi hasil pertanian dan perkebunan Luwu Timur di masa mendatang bisa menjadi andalan utama jika cadangan nikel di perut Bumi tak lagi bisa diandalkan. Apalagi melihat PDRB Luwu Timur apabila tanpa sektor pertambangan, kontribusi sektor pertanian menjadi yang utama. Sumbangannya bisa mencapai 84 persen.
Jumlah tenaga kerja di sektor ini pun menurut Survei Penduduk tahun 2000 menjadi yang terbesar, khususnya pertanian tanaman pangan (34,08 persen) dan perkebunan (25,9 persen). Pengembangan sektor pertanian ke arah agroindustri dan agrowisata agaknya bisa menjadi pertimbangan sejak sekarang. Potensi lain yang juga bisa dikembangkan adalah sektor pariwisata. Di wilayah Luwu Timur terdapat tiga danau yang potensial sebagai obyek wisata alam. Selain Danau Matano, dua danau lainnya adalah Danau Towuti dan Danau Mahalona, yang semuanya masih asri. Obyek wisata alam lainnya berupa padang perburuan Matano di Kecamatan Nuha dan air terjun Salu Anoang di Kecamatan Mangkutana. Ada pula wisata sejarah Patung Megalit/Bolakodi, juga di Kecamatan Mangkutana.
Asal Usul ‘Luwu’
Penamaan kerajaan ‘Luwu’ sudah dikenal sejak abad ke-13 ketika masa pemerintahan raja pertama periode Lontara. Dalam sejarah Luwu dikenal ada dua periode; periode Galigo dan periode Lontara.
Masa periode Galigo disesuaikan dengan sumber tradisi buku sastra kuno ‘I La Galigo’ yang ditemukan BF Matthes di tahun 1888. Periode ini digolongkan oleh RA Kern, seorang ahli sejarah berkebangsaan Belanda sebagai masa prasejarah. Bahkan sebagian lagi menyebutnya ‘pseude history’ atau masa sejarah semu. Dari buku I La Galigo disebutkan ada tiga tempat; Wara, Luwu, dan Wewangriu yang sering dipersamakan dengan Tompotikka.
Menurut Sanusi Daeng Mattata, penulis buku Luwu dalam Revolusi, menyebutkan kata Luwu itu berasal dari kata ‘riulo’ yang artinya diulurkan dari atas. Penamaan ini dikaitkan dengan tradisi lisan yang disakralkan di Tana Luwu. Dari tradisi lisan disebutkan, bumi ini diulurkan dari langit, dihamparkan, kemudian ditaburi dengan kekayaan alam yang melimpah.
Asal usul penamaan Luwu juga dari kata malucca (bahasa bugis ware’) atau malutu (bahasa palili’) yang artinya keruh atau gelap. Makna keruh di sini yakni penuh dengan isi, laksana warna air sungai yang banjir. Gelap ditafsirkan hutan rimba belantara yang diselingi hutan sagu di sekitar pantai. Maka dari malucca dan malutu disederhanakan pengucapannya menjadi malu’ hingga seterusnya terdengar seperti lu’ atau luwu.
Kata ‘Luwu’ atau Lu’ juga dapat dihubungkan dengan kata laut. Hal ini seperti yang diungkapkan C. Salombe, seorang budayawan Tana Toraja dalam bukunya; Orang Toraja dengan Ritusnya yang diterbitkan di tahun 1972. C. Salombe menyebut dalam bukunya, Lu’ berasal dari kata lau yang artinya laut, yang dapat pula dipersamakan dengan timur. Salombe juga menulis, kata Toraja itu merupakan penyebutan orang Luwu kepada orang yang berdiam di daerah pegunungan atau di sebelah barat . To Raja atau To Riaja bermakna orang di atas atau di sebelah barat. Sebaliknya, Luwu atau Lu’ merupakan penyebutan orang Toraja kepada yang bermukim di bagian pesisir pantai atau di sebelah timur atau di dataran rendah.Pendapat ini dipertegas pula oleh Andi Zainal Abidin, seorang penulis sejarah dan budaya Bugis. Dia menegaskan, Luwu bermakna wilayah pinggir laut. Sehingga Luwu disebut pula sebagai kerajaan pantai Luwu, karena merupakan kerajaan pertama yang meliputi sepanjang pantai Sulawesi yang mempersatukan wilayah mulai dari Gorontalo di utara dan Selayar di selatan


Arti Logo

  • Bintang Menggambarkan Ketuhanan Yang Maha Esa masyarakat Luwu Utara yang religious.
  • Payung Maejae Simbol Kekuasaan tertinggi raja Luwu yang (payung peroe) melambangkan kemanunggalan (masedi siri) antara pemerintah dan seluruh kornponen masyarakat Luwu Utara dan sekaligus simbol "pengayoman".
  • Padi dan kapas Simbol kesejahteraan bagi masyarakat Luwu Utara yang cukup sandang dan pangan.
  • Besi Pakkae Simbol kekuasaan raja Luwu maknanya adalah kesejahteraan egalitarian antara seluruh komponen masyarakat.
  • Pohon sagu Simboi kerukunan, kekokohan, ketegaran masyarakat Luwu Utara.
  • Wadah gambar Simbol dasar negara, wadah dalam kehidupan bersudut lima bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  • Pita Simbol pengikat persaudaman.
  • Payung dan besi Menggambarkan masyarakat Luwu Utara yang pakkae bermasyarakat dan berbudaya.


read more

Kabupaten Selayar

Kabupaten Kepulauan Selayar (dahulu Kabupaten Selayar, perubahan nama berdasarkan PP. No. 59 Tahun 2008) adalah sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten Kepulauan Selayar adalah Kota Benteng. Kabupaten ini memiliki luas sebesar 10.503,69 km² (wilayah daratan dan lautan) dan berpenduduk sebanyak 123.283 jiwa. Kabupaten Kepulauan Selayar terdiri dari 2 sub area wilayah pemerintahan yaitu wilayah daratan yang meliputi kecamatan Benteng, Bontoharu, Bontomanai, Buki, Bontomatene, dan Bontosikuyu serta wilayah kepulauan yang meliputi kecamatan Pasimasunggu, Pasimasunggu Timur, Takabonerate, Pasimarannu, dan Pasilambena.
Sejarah
Pada masa lalu, Kabupaten Kepulauan Selayar pernah menjadi rute dagang menuju pusat rempah-rempah di Moluccan ( mlauku ). Di Pulau Selayar, para pedagang singgah untuk mengisi perbekalan sambil menunggu musim yang baik untuk berlayar. Dari aktivitas pelayaran ini pula muncul nama Selayar. Nama selyara berasal dari kata cedaya (bahasa sansekerta ) yang berarti satu layar, karena konon banyak perahu satu layar yang singgah di pulau ini. Kata cedaya telah diabadikan namanya dalam Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada abad 14. Ditulis bahwa pada pertengahan abad 14, ketika majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanegara, Selayar digolongkan dalam Nusantara, yaitu pulau-pulau lain di luar Jawa yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti bahwa armada Gadjah Mada atau Laksamana Nala pernah singgah di pulau ini.
Selain nama Selayar, pulau ini dinamakan pula dengan nama Tana Doang yang berarti tanah tempat berdoa. Di masa lalu, P.Selayare menjadi tempat berdoa bagi para pelaut yang hendak melanjutkan perjalanan baik ke barat maupun ke timur untuk keselamatan pelayaran mereka. Dalam kitab hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa (Abad 17), Selayar disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga karena letaknya yang strategis sebagai tempat transit baik untuk pelayaran menuju ke timur dan ke barat. Disebutkan dalam naskah itu bahwa bagi orang yang berlayar dari Makassar ke Selayar, Malaka, dan Johor, sewanya 6 rial dari tiap seratus orang.
Belanda mulai memerintah Selayar pada tahun 1739. Selayar ditetapkan sebagai sebuah keresidenan dimana residen pertamanya adalah W. Coutsier (menjabat dari 1739-1743). Berturut-turut kemudian Selayar diperintah oleh orang Belanda sebanyak 87 residen atau yang setara dengan residen seperti Asisten Resident, Gesagherbber, WD Resident, atau Controleur. Barulah Kepala pemerintahan ke 88 dijabat oleh orang Selayar, yakni Moehammad Oepoe Patta Boendoe. Saat itu telah masuk penjajahan Jepang sehingga jabatan residen telah berganti menjadi Guntjo Sodai, pada tahun 1942. Di zaman Kolonial Belanda, jabatan pemerintahan di bawah keresidenan adalah Reganschappen. Reganschappen saat itu adalah wilayah setingkat kecamatan yang dikepalai oleh pribumi bergelar "Opu". Dan kalau memang demikian, maka setidak-tidaknya ada sepuluh Reganschappen di Selayar kala itu, antara lain: Reganschappen Gantarang, Reganschappen Tanete, Reganschappen Buki, Reganschappen Laiyolo, Reganschappen Barang-Barang dan Reganschappen Bontobangun. Di bawah Regaschappen ada kepala pemerintahan dengan gelar Opu Lolo, Balegau dan Gallarang. Pada tanggal 29 Nov 1945 (19 Hari setelahIniden Hotel Yamato di Surabaya) pukul 06.45 sekumpulan pemuda dari beberapa kelompok dengan jumlah sekitar 200 orang yang dipimpin oleh seorang pemuda bekas Heiho bernama Rauf Rahman memasuki kantor polisi kolonial (sekarang kantor PD. Berdikari). Para pemuda ini mengambil alih kekuasaan dari tangan Belanda yang di kemudian hari tanggal ini dijadikan tanggal Hari Jadi Kabupaten Kepulauan Selayar. Tahun Hari Jadi diambil dari tahun masuknya Agama ISlam di Kabupaten Kepulauan Selayar yang dibawa oleh Datuk Ribandang, yang ditandai dengan masuk Islamnya Raja Gantarang, Pangali Patta Radja, yang kemudian bernama Sultan Alauddin, pemberian Datuk Ribandang. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1605, sehingga ditetapkan Hari Jadi Kabupaten Kepulauan Selayar adalah 29 November 1605.
Selayar Pada Masa Pemerintah Kolonial Belanda
Belanda mulai memerintah Selayar pada tahun 1739. Selayar ditetapkan sebagai sebuah keresidenan dimana residen pertamanya adalah W. Coutsier (menjabat dari 1739-1743). Berturut-turut kemudian Selayar diperintah oleh orang Belanda sebanyak 87 residen atau yang setara dengan residen seperti Asisten Resident, Gesagherbber, WD Resident, atau Controleur. Barulah Kepala pemerintahan ke 88 dijabat oleh orang Selayar, yakni Moehammad Oepoe Patta Boendoe. Saat itu telah masuk penjajahan Jepang sehingga jabatan residen telah berganti menjadi Guntjo Sodai, pada tahun 1942. Di zaman Kolonial Belanda, jabatan pemerintahan di bawah keresidenan adalah Reganschappen. Reganschappen saat itu adalah wilayah setingkat kecamatan yang dikepalai oleh pribumi bergelar "Opu". Dan kalau memang demikian, maka setidak-tidaknya ada sepuluh Reganschappen di Selayar kala itu, antara lain: Reganschappen Gantarang, Reganschappen Tanete, Reganschappen Buki, Reganschappen Laiyolo, Reganschappen Barang-Barang dan Reganschappen Bontobangung. Di bawah Regaschappen ada kepala pemerintahan dengan gelar Opu Lolo, Balegau dan Gallarang.
Selayar Pada masa Penjajahan Jepang
Di masa pendudukan Jepang, keresidenan diganti dengan istilah Guntjo Sodai dan Buken Kanriken. Masa penjajahan yang cuma berlangsung kurang lebih tiga setengah tahun hanya mengalami pergantian kepala pemerintahan sebanyak dua kali.
Kakek-nenek kembali angkat cerita bahwa Nippon pernah menyuruh mereka menanam jarak. Mereka juga dilarang makan nasi, walaupun mereka sendiri yang menanam padinya. Kalau mau makan nasi, harus pintar-pintar menyembunyikan padi. Karena jika ketahuan, maka habislah badan dirajah dengan cambuk atau pentungan. Selain itu, mereka juga dilarang menyalakan lampu di malam hari. Konon untuk menghindar dari intaian pesawat-pesawat Sekutu.

read more

Kabupaten JENEPONTO

Sejarah
Penetapan Hari Jadi Jeneponto sebagai salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan waktu yang cukup panjang dan melibatkan banyak tokoh di daerah ini. Kajian dan berbagai peristiwa penting melahirkan beberapa versi mengenai waktu yang paling tepat untuk dijadikan sebagai Hari Jadi Jeneponto.
Kelahiran adalah suatu proses yang panjang, yang merupakan momentum awal dan tercatatnya sebuah sejarah Bangsa, Negara, dan Daerah. Oleh karena itu, kelahiran tersebut memiliki makna yang sangat dalam bagi peradaban manusia.
Jeneponto merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak di bagian selatan, tumbuh dengan budaya dan peradaban tersendiri seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. Menyadari perlunya kepastian akan Hari Jadi Jeneponto, maka dilakukan beberapa upaya dengan melibatkan berbagai elemen di daerah ini melalui seminar –seminar yang dilaksanakan secara terpadu.
Dari pemikiran yang berkembang dalam pelaksanaan seminar tersebut, diharapkan bahwa kriteria yang paling tepat untuk menetapkan Hari Jadi Jeneponto adalah berdasarkan pertimbangan historia, sosio-kultural, dan struktur pemerintahan, baik pada masa pra dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia, maupun pertimbangan eksistensi dan norma-norma serta simbol-simbol adat istiadat yang dipegang teguh, dan dilestarikan oleh masyarakat dalam meneruskan pembangunan.
Selanjutnya, penelusuran tersebut menggunakan dua pendekatan yaitu tanggal, bulan, dan tahun menurut teks dan tanggal kejadiannya, serta pendekatan dengan mengambil tanggal-tanggal, bulan-bulan maupun tahun-tahun yang mempunyai makna-makna penting yang bertalian dengan lahirnya suatu daerah, yang dianggap merupakan puncak kulminasi peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi.
Adapun alternatif yang digunakan terhadap kedua pendekatan tersebut di atas yaitu:

Pertama:
a. November 1863, adalah tahun berpisahnya antara Bangkala dan Binamu dengan Laikang. Ini membuktikan jiwa patriotisme Turatea melakukan perlawanan yang sangat gigih terhadap pemerintah Kolonial Belanda.
b. Tanggal 29 Mei 1929 adalah pengangkatan Raja Binamu. Tahun itu mulai diangkat “Todo” sebagai lembaga adat yang refresentatif mewakili masyarakat.
c. Tanggal 1 Mei 1959, adalah berdasarkan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 menetapkan terbentuknya Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan, dan terpisahnya Takalar dari Jeneponto.
Kedua:
a. Tanggal 1 Mei 1863, adalah bulan dimana Jeneponto menjalani masa-masa yang sangat penting yaitu dilantiknya Karaeng Binamu, yang diangkat secara demokratis oleh “Toddo Appaka” sebagai lembaga representatif masyarakat Turatea.
b. Mundurnya Karaeng Binamu dari tahta sebagi wujud perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
c. Lahirnya Undang Undang No. 29 Tahun 1959.
d. Diangkatnya kembali raja Binamu setelah berhasil melawan penjajah Belanda. Kemudian tahun 1863, adalah tahun yang bersejarah yaitu lahirnya Afdeling Negeri-negeri Turatea setelah diturunkan oleh pemerintah Belanda dan keluarnya Laikang sebagai konfederasi Binamu.
e. Tanggal 20 Mei 1946, adalah simbol patriotisme Raja Binamu (Mattewakkang Dg Raja) yang meletakkan jabatan sebagai raja yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Dengan Demikian penetapan Hari Jadi Jeneponto yang disepakati oleh pakar pemerhati sejarah, peneliti, sesepuh dan tokoh masyarakat Jeneponto, dari seminar Hari jadi Jeneponto yang berlangsung pada hari Rabu, tanggal 21 Agustus 2002 di Gedung Sipitangarri, dianggap sangat tepat, dan merupakan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan berbagai kesimpulan di atas, maka Hari jadi Jeneponto ditetapkan pada tanggal 1 Mei 1863, dan dikukuhkan dalam peraturan Daerah Kabupaten Jeneponto Nomor 1 Tahun 2003 tanggal 25 April 2003.

Sumber : www.jenepontokab.go.id
Arti Logo

Lambang daerah Kabupaten Jeneponto yang menggambarkan unsur-unsur historis, kultur, patriotik, sosialogis, dan ekonomi yang keseluruhanya merupakan bagian mutlak yang tidak terpisahkan dari NKRI.

Terdiri atas lima bagian yang berbeda, yakni pohon lontar dan batang aksara berbentuk (T), kuda putih, globe tiga warna bersusun, daun lontar model pita yang bertuliskan Jeneponto dan model perisai.

Maknanya, pohon lontar dan batang aksara berbentuk (T) adalah, pohon serba guna lambang kemakmuran. Batang sebagai bahan rumah, buahnya dimakan, airnya dapat dijadikan gula, daunya dibuat menjadi tikar dan lain-lain.

Batangnya yang berbentuk huruf (aksara T) singkatan dari kata Turatea di mana rakyat Kabupaten Jeneponto lebih dikenal sebutan Turatea yang artinya orang dari atas. Huruf (T) ini terletak di atas pondasi yang kuat, yang warnanya hitam diartikan sebagai sesuatu yang kuat dan kukuh.

Kuda putih, lambang kekuatan intelek, kuat, gagah, berani dalam keyakinan yang suci. Binatang serba guna ini erat hubungannya dengan segala segi dan perjuangan hidup manusia dan masyarakat baik dalam bidang sosial dan ekonomi.

Dengan semangat menyala adalah kekuatan dan bersukma turun temurun dengan tanaga kuda yang bersemangat tinggi. Mari membangun umat manusia.

Globe dengan tiga warna bersusun. Dengan tiga rangkain rantai (gelang) yang dipadu jadi satu. Globe berarti cita-cita yang tinggi bukan saja seluas samudra dahsyat atau setinggi Bawakaraeng, tetapi seperkasa bumi sebulat bola dunia, warnanya merah, hijau, kuning, melukiskan kewajiban yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin.

Warna merah, atau kelahiran bahwa manusia itu dilahirkan dan menjadi anggota masyarakat. Sedangkan hijau pucuk harapan, bahwa manusia setelah dilahirkan menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan pendidikan agar menjadikan manusia sosial yang cakap dan bertanggung jawab.
Sementara kuning (matang).

Bahwa, manusia setelah lahir dan berpendidikan, perubahan ia dapat diandalkan sebagai anggota masyarakat yang sempurna. Dari ketiga pengertian warna lambang daerah Jeneponto, Ini menjadi cita-cita dan kewajiban pemerintah daerah Jeneponto.

Daun lontar model pita yang bertuliskan Jeneponto, menggambarkan kebudayaan yang khas dan tinggi nilainya sejak dahulu kala. Sementara model perisai diartikan, sebagai pelindung dan pengaman atas terwujudnya pancasila di mana Kabupaten Jeneponto adalah bagian dari NKRI. Itulah makna yang terkandung dalam logo karya Mustafa Djalle
Nilai Budaya
Tidak lupa Anda pun bisa mengunjungi wisata Bungung Salapang atau sembilan Sumur. Tempat wisata ini juga sangat menarik untuk dikunjungi, karena bisa disebut sebagi wisata Budaya. Di mana air yang ada di dalamBungung Salapang ini tidak pernah habis meskipun banyak orang yang memakainya, dan hal itu sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Bungung Salapang, oleh sebagian masyarakat Jeneponto juga dipercayai selain dapat menghilangkan berbagai macam penyakit yang ada dalam tubuh, bisa awet mudah juga bisa ketemu jodoh. Dengan cara orang tersebut harus datang dengan niat baik dan tulus, untuk memohon (nasar), sambil mengikat tali yang menyerupai akar-akaran di seputaran pohon atau area Bungung Salapang, sambil berucap dalam hati ‘ Aku akan kembali melepas tali ini setelah jodohku aku temukan ’ lalu membasuh air ke muka. Percaya tidak percaya tempat wisata ini banyak dikunjungi masyarakat dari dalam dan luar Jeneponto. Dan saat ini kawasan Bungung Salapang menjadi potensi khasanah yang unik karena keragaman budaya yang ada di Masyarakatnya selalu berpulang pada kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Sebagian masyarakat mengkulturkan dan menjadikan tempat tersebut sakral.

read more