Kamis, 02 Mei 2013

Kabupaten Sidrap

Berdasarkan Lontara’ Mula Ri Timpakenna Tana’e Ri Sidenreng halaman 147, dikisahkan tentang seorang raja bernama Sangalla. Ia adalah seorang raja di Tana Toraja. Konon Memiliki sembilan orang anak yaitu La Maddarammeng, La Wewanriru, La Togellipu, La Pasampoi, La Pakolongi, La Pababbari, La Panaungi, La Mampasessu, dan La Mappatunru. Sebagai saudara sulung, La Maddaremmeng selalu menekan dan mengintimidasi kedelapan adik-adiknya, bahkan daerah kerajaan adik-adiknya ia rampas semua. Karena semua adiknya tidak tahan lagi dengan perlakuan kakaknya, mereka pun sepakat meninggalkan Tana Toraja. Karena perjalanan yang melelahkan, mereka kehausan lalu mencari jalan ke tepi genangan air di pinggir danau. Namun, danau itu ternyata berada di hutan yang lebat, sehingga sulit bagi mereka untuk mencapainya. Karena harus menembus semak belukar yang lebat, mereka pun Sirenreng-renreng (saling berpegangan tangan).Sesampainya di sana, mereka minum sepuas-puasnya dan duduk beristirahat kemudian mandi. Setelah itu, mereka berdiskusi bertukar pikiran tentang nasib yang merka jalani. Akhirnya, mereka sepakat untuk bermukim di tempat itu. Di sanalah mereka memulai kehidupan baru untuk bertani, berkebun, menangkap ikan, dan beternak. Semakin hari, pengikut-pengikutnya pun semakin banyak. Tempat itulah yang kemudian dikenal“Sidenreng“, yang berasal dari kata Sirenreng-renreng mencari jalan ke tepi danau, dan danau itulah yang sekarang dikenal dengan danau Sidenreng. Dari situ, terbentuk kerajaan Sidenreng.
Menurut sejarah, Sidenreng Rappang awalnya terdiri dari dua kerajaan, masing-masing Kerajan Sidenreng dan Kerajaan Rappang. Kedua kerajaan ini sangat akrab. Begitu akrabnya, sehingga sulit ditemukan batas pemisah. Bahkan dalam urusan pergantian kursi kerajaan, keduanya dapat saling mengisi. Seringkali pemangku adat Sidenreng justru mengisi kursi kerajaan dengan memilih dari komunitas orang Rappang. Begitu pula sebaliknya, bila kursi kerajan Rappang kosong, mereka dapat memilih dari kerajaan Sidenreng .Itu pula sebabnya, sulit untuk mencari garis pembeda dari dua kerajaan tersebut. Dialek bahasanya sama, bentuk fisiknya tidak beda, bahasa sehari-harinya juga mirip. Kalaupun ada perbedaan yang menonjol, hanya dari posisi geografisnya saja. Wilayah Rappang menempati posisi sebelah Utara, sedangkan kerajaan Sidenreng berada di bagian Selatan.
Kedua kerajaan tersebut masing-masing memiliki sistem pemerintahan sendiri. Di kerajaan Sidenreng kepala pemerintahannya bergelar Addatuang. Pada pemerintahan Addatuang, keputusan berasal dari tiga sumber yaitu, raja, pemangku adat dan rakyat. Sedangkan di Kerajaan Rappang rajanya bergelar Arung Rappang dan menyandarkan sendi pemerintahanya pada aspirasi rakyat. Demokrasi sudah terlaksana pada setiap pengambilan kebijakan. Demokrasi bagi kerajaan Rappang adalah sesuatu yang sangat penting, salah satu bentuk demokrasinya adalah penolakan diskriminasi gender. Perbedaan gender tidak menjadi masalah, khususnya bagi kaum wanita untuk meniti karir sebagaimana layaknya kaum pria. Buktinya, adalah emansipasi wanita sudah ditunjukkan dengan seorang perempuan yang menjadi rajanya, yaitu Raja Dangku, raja kesembilan yang terkenal cerdas, jujur, dan pemberani. Wanita yang kemudian dikenal sukses menjalankan roda pemerintahan di zamannya.
Pada saat pengakuan kedaulatan republik Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949, berakhirlah dinasti Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang. Ketika bumi Indonesia kemudian melepaskan diri dari belenggu penjajah, ketika pekik kemerdekaan menggema di seantero nusantara, kerajaan Sidenreng lebih awal menunjukkan watak nasionalismenya dengan bersedia melepaskan sistem kerajaan mereka. Padahal sistem itu sudah berlangsung lama, sampai 21 kali pergantian pemimpin. Mereka memilih berubah dan menyatu dengan pola ketatanegaraan Indonesia. Kerajaan akhirnya melebur menjadi kabupaten Sidenreng Rappang, dengan bupati pertamanya H. Andi Sapada Mapangile dan untuk pertama kalinya dalam sejarah pemerintahan Sidenreng Rappang dilakukan pemilihan umum untuk memilih bupati secara langsung pada tanggal 29 Oktober 2008 lalu.
Di daerah ini pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang (Addatuang adalah semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama 'Nenek Mallomo'. Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng, yaitu: Naiya Ade'e De'nakkeambo, de'to nakkeana, artinya: Sesungguhnya adat itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak. Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo' ketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nenek Mallomo' yang mencuri peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara' La Toa, Nenek Mallomo' disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo, Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo' dalam menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para Pallontara' ahli mengenai buku Lontara') dan tokoh-tokoh masyarakat adat. Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu'mang sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya.Saat ini SIDRAP dipimpin oleh bupati termuda di Indonesia H. Rusdi Masse.
Sebelum ditetapkan menjadi sebuah Kabupaten, Sidenreng Rappang atau yang lebih akarab disingkat SIDRAP, memiliki sejarah panjang sebagai kerajaan Bugis yang cukup disegani di Sulawesi Selatan sejak abad XIV, disamping Kerajaan Luwu, Bone, Gowa, Soppeng, dan Wajo.
Berbagai literatur yang ada menyebutkan, eksistensi Kerajaan ini turut memberi warna dalam percaturan politik dan ekonomi kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Sidenreng merupakan salah satu dari sedikit kerajaan yang tercatak dalam kitab “La Galigo” yang amat melegenda. Sementara masa La Galigo, menurut Christian Pelras yang menulis buku Manusia Bugis, berlangsung pada periode abad ke 11 dan 13 Masehi. Ini berarti Sidenreng merupakan salah satu kerajaan kuno atau pertama di Sulawesi Selatan. Di abad selajutnya, Kerajaan Sidenreng yang berpusat di sekitar danau besar (Tappareng karaja) menjadi salah satu negeri yang ramai dan terkenal hingga ke benua lain. Ini sesuai dengan catatan seorang Portugis di abad ke-16 M yang menuliskan Sidereng sebagai “…Sebuah kota besar dan terkenal, berpusat di sebuah danau yang dapat dilayari, dan dikelilingi tempat-tempat pemukiman.” (Tiele 1880, IV;413).
Manuel Pinto, seorang berkebangsaan Portugsi lainnya malah sempat menetap selama delapan bulan di Kerajaan Sidenreng dan merekam suasana tahun 1548 M. Pinto menggambarkan Sidenreng sebagai sebuah negeri yang ramai dengan penduduk sekitar 300.000 orang. Ada yang berpendapat bahwa asumsi penduduk di tahun 1548 M yang disebut Pinto terlalu besar. Namun dengan kebesaran dan kejayaan Sidenreng di masa itu, tak menutup kemungkinan bahwa Sidereng mempunyai wilayah yang jauh lebih luas daripada Kabupaten Sidenreng Rappang atau wilayah Ajatappareng sekarang ini.
Ia juga menceritakan aktivitas perdagangan di kerajaan ini yang dikunjungi pedangang dari berbagai belahan dunia termasuk Portugis dengan muggunakan jalur laut menuju Tappareng Karaja. Pinto menulis, “Sebuah fusta besar (kapal layar portugis yang panjang dan dilengkapi deretan dayung di kedua sisinya) dapat berlayar dari laut munuju Sidereng.” (Wicki, Documents Indica, II: 420-2). Hal ini diperkuat oleh Crawfurd pada 1828 (Descriptive Dictionary; 74, 441) yang menulis, “pada kampung-kakmpung di tepi (danau)… berlangsung perdagangan luar negeri yang peset. Perahu-perahu dagang dihela ke hulu sungai Cenrana…Kecuali pada musim kemarau, airnya cukup dalam untuk dilewati perahu-perahu paling besar sekalipun.”
Sejarawan lainnya mencatat, “Sidenreng adalah perbatasan wilayah pengaruh Luwu dan Siang, terletak di antara dataran yang merupakan satu-satunya celah alami antara gugusan gunung yang memisahkan pantai barat dan timur semenanjung Sulawesi Selatan.” (Andaya 2004, Wari san Arung Palakka, Sejarah Sulawesi di Abad XVII). Dalam literatur lain, Rappang disebutkan sebagai kerajaan yang menguasai daerah hilir Sungai Saddang di abad 15 M. Bersama dengan Sidenreng, Sawitto, Alitta, Suppa, dan Bacukiki, mereka membentuk persekutuan Aja’Tappareng (wilayah barat danau) untuk membendung dominasi Luwu. Persekutuan itu kemudian diikatkan dalam perkawinan antar keluarga raja-raja mereka. Kabupaten Sidenreng Rappang atau Sidrap dengan ibukotanya Pangkajene berjarak ±183 km dari Kota Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, dengan luas wilayahnya mencapai 1.883,25 km², yang secara administratif terbagi dalam 11 kecamatan yaitu:
  • Kecamatan Panca Lautan
  • Kecamatan Tellu LimpoE
  • Kecamatan Watang Pulu
  • Kecamatan MaritengngaE
  • Kecamatan Baranti
  • Kecamatan Panca Rijang
  • Kecamatan Kulo
  • Kecamatan Sidenreng
  • Kecamatan Pitu Riawa
  • Kecamatan Dua PituE
  • Kecamatan Pitu Riase
  • Juga terdiri atas 38 kelurahan, dan 65 desa. Secara geografis, Kabupaten ini terletak di sebelah Utara Kota Makassar, tepatnya diantara titik koordinat :
  • Lintang Selatan 3o43 – 4o09
  • Bujur Timur 119o41 – 120o10
  • Posisi Wilayah Kabupaten Sidenreng Rappang berbatasan dengan :
  • Sebelah Utara : Kabupaten Pinrang dan Enrenkang.
  • Sebelah Timur : Kabupaten Luwu dan Wajo.
  • Sebelah Selatan : Kabupaten Barru dan Soppeng.
  • Sebelah Barat : Kabupaten Pinrang dan Kota Parepare.
Sidenreng Rappang juga dikenal dengan sebutan Bumi Nene’ Mallomo. Nama ini diambil dari seorang Cendikiawan yang diyakini pernah hidup di Kerajaan Sidenreng di masa pemerintahan La Patiroi Addatuan Sidenreng VII. Nene’ Mallomo adalah penasehat utama Addatuang dalam hukum dan pemerintahan. Ia dikenang karena kecendekiawannya dalam merumuskan hukum ketatanegaraan dan kejujurannya dalam menegakkan keadilan. Secara garis besar masyarakat Kabupaten Sidenreng Rappang mayoritas suku Bugis.





0 komentar:

Posting Komentar