Kamis, 02 Mei 2013

Kabupaten Luwu Utara

Kabupaten Luwu Utara adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Masamba. Luwu Utara terletak pada koordinat 2°30'45"–2°37'30"LS dan 119°41'15"–121°43'11" BT. Secara geografis kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Sulawesi Tengah di bagian utara, Kabupaten Luwu Timur di sebelah timur, Kabupaten Luwu di sebelah selatan dan Kabupaten Mamuju di sebelah barat.
Kabupaten Luwu Utara yang dibentuk berdasarkan UU No. 19 tahun 1999 dengan ibukota Masamba merupakan pecahan dari Kabupaten Luwu. Saat pembentukannya daerah ini memiliki luas 14.447,56 km2 dengan jumlah penduduk 442.472 jiwa. Dengan terbentuknya kabupaten Luwu Timur maka saat ini luas wilayahnya adalah 7.502,58 km2.
Secara administrasi terdiri 11 kecamatan 167 desa dan 4 kelurahan. Penduduknya berjumlah 250.111 jiwa (2003) atau sekitar 50.022 Kepala Keluarga yang sebagian besar (80,93%) bermata pencaharian sebagai petani, namun kontribusi sektor ini terhadap PDRB Kabupaten Luwu Utara pada tahun 2003 hanya 33,31% atau sebanyak Rp. 4,06 triliun.
Sejarah
Desa kecil di bibir Danau Matano itu tak lagi menjadi desa yang sunyi. Desa yang berjarak sekitar 600 kilometer di sebelah timur laut Makassar itu rupanya menyimpan kekayaan alam yang luar biasa, berupa kandungan deposit nikel yang tak habis dieksploitasi hingga puluhan tahun.PT International Nickel Indonesia (Inco) beruntung mendapatkan daerah itu, dan pada tahun 1968 memperoleh kontrak karya untuk menambang. Sejak itu, Desa Soroako yang terletak di Kecamatan Nuha seakan tak pernah sepi dari suara ekskavator berukuran raksasa yang terus berderu mengais isi Bumi.itu, 54,17 persen berada di wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), selebihnya berada di Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Sulawesi Tengah (Sulteng). Produknya yang mencapai ratusan juta pon (puluhan ribu ton) dalam bentuk nikel matte terutama diekspor ke Jepang. Kegiatan eksplorasi tidak saja menjadi tambang dollar bagi Sulsel, tetapi juga menjadi andalan utama bagi kabupaten yang menaunginya kini, yaitu Luwu Timur.Kabupaten ini semula bagian dari Kabupaten Luwu Utara dan baru diresmikan sebagai daerah otonom pada 25 Februari 2003 lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003. Sebagai kabupaten yang baru seumur jagung, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur masih berbenah. Belum terbentuknya DPRD membuat kabupaten ini belum memiliki lambang daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta Dana Alokasi Umum (DAU). Berbagai data yang menyangkut perekonomian Luwu Timur sebagian besar masih belum dipisahkan dari kabupaten induk, Kabupaten Luwu Utara. Karena itu, data yang ditampilkan di sini pun sebagian besar masih berasal dari Luwu Utara.bagian dari Kabupaten Luwu Utara, pertambangan memang memberikan sumbangan yang besar bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Luwu Utara. Tahun 2001 sektor ini mempunyai peranan sebesar 57,86 persen. Penambangan nikel di Desa Soroako menjadi penyumbang terbesar.
Keberadaan PT Inco tak dimungkiri memang menjadi ladang pemasukan kas daerah, terutama melalui bagi hasil pajak serta dari pajak bumi dan bangunan (PBB), yang pada tahun 2001 mencapai Rp 4,8 miliar.Kini, setelah Luwu Timur menjadi kabupaten otonom, dan Desa Soroako termasuk dalam wilayahnya, otomatis tambang dollar itu menjadi milik Luwu Timur. PDRB 2002 Luwu Timur menunjukkan kontribusi sektor pertambangan mencapai 69,51 persen, disusul sektor pertanian 25,62 persen. Sektor pertambangan tetap memegang peran penting bagi struktur perekonomian Luwu Timur.Kegiatan penambangan itu juga membawa perubahan besar, khususnya bagi Desa Soroako yang telah berkembang menjadi kawasan eksklusif. Walau letak Soroako terpencil di perbatasan tiga provinsi, Sulsel, Sultra, dan Sulteng, sarana komunikasi di desa itu tak memerlukan sambungan telepon interlokal, baik dari Makassar maupun Jakarta. Sebab, nomor telepon untuk kawasan PT Inco berkode area Makassar dan Jakarta. Infrastruktur di wilayah ini juga terbilang bagus. Jalan beraspal mulus dan fasilitas listrik yang terbilang royal.Sayangnya, segala fasilitas itu hanya bisa dinikmati di kawasan PT Inco dan permukiman karyawannya, serta program pembangunan masyarakat PT Inco yang baru bisa dinikmati sebagian penduduk yang tinggal di sekitar wilayah itu. Sementara di Kecamatan Towuti ada beberapa desa yang belum menikmati benderangnya cahaya lampu listrik. Desa Tokalimbo, Bantilang, dan Loeha, misalnya, walau sudah menikmati listrik, masih terbatas dari pukul 18.00-06.00.
Bahkan, Desa Mahalona belum terjamah listrik sama sekali. Semua desa itu terletak di seberang Danau Matano, berseberangan dengan Desa Soroako.Penduduk Luwu Timur sebagian besar menggantungkan hidup dari lahan usaha pertanian. HasilSurvei Tenaga Kerja Daerah tahun 2002 menunjukkan, sektor pertanian menyerap 70,37 persen dari total 62.289 tenaga kerja. Tanah dan cuaca Luwu Timur memang sangat cocok untuk usaha pertanian dan perkebunan. Di Kecamatan Mangkutana, misalnya, saat masih menjadi bagian dari Kabupaten Luwu Utara, kecamatan ini merupakan produsen padi terbesar kabupaten itu. Tahun 2001 padi dari kecamatan ini memberi kontribusi sebesar 13,62 persen dari total produksi padi di Luwu Utara.jagung terluas di Kecamatan Burau mencapai 1.067 hektar, kedelai di Kecamatan Malili seluas 30 hektar, dan tanaman buah-buahan, seperti pisang, jeruk, dan durian.Kelapa sawit menjadi andalan kabupaten ini. Lahan perkebunan terdapat di Kecamatan Burau, Tomoni, dan Wotu. Selain perkebunan rakyat, kelapa sawit juga dikelola perkebunan besar swasta nasional dan perkebunan negara yang terbagi dalam perkebunan inti dan plasma. Perkebunan kelapa sawit milik rakyat tersebar di Kecamatan Mangkutana, Angkona, Malili, Tomoni, Burau, dan Wotu.
Meski di beberapa desa-terutama di desa-desa yang berada di seberang Danau Towuti-infrastruktur jalan dan transportasi belum tembus hingga ke sana, secara umum infrastruktur jalan dan transportasi bisa dibilang cukup memadai. Semua potensi hasil pertanian dan perkebunan Luwu Timur di masa mendatang bisa menjadi andalan utama jika cadangan nikel di perut Bumi tak lagi bisa diandalkan. Apalagi melihat PDRB Luwu Timur apabila tanpa sektor pertambangan, kontribusi sektor pertanian menjadi yang utama. Sumbangannya bisa mencapai 84 persen.
Jumlah tenaga kerja di sektor ini pun menurut Survei Penduduk tahun 2000 menjadi yang terbesar, khususnya pertanian tanaman pangan (34,08 persen) dan perkebunan (25,9 persen). Pengembangan sektor pertanian ke arah agroindustri dan agrowisata agaknya bisa menjadi pertimbangan sejak sekarang. Potensi lain yang juga bisa dikembangkan adalah sektor pariwisata. Di wilayah Luwu Timur terdapat tiga danau yang potensial sebagai obyek wisata alam. Selain Danau Matano, dua danau lainnya adalah Danau Towuti dan Danau Mahalona, yang semuanya masih asri. Obyek wisata alam lainnya berupa padang perburuan Matano di Kecamatan Nuha dan air terjun Salu Anoang di Kecamatan Mangkutana. Ada pula wisata sejarah Patung Megalit/Bolakodi, juga di Kecamatan Mangkutana.
Asal Usul ‘Luwu’
Penamaan kerajaan ‘Luwu’ sudah dikenal sejak abad ke-13 ketika masa pemerintahan raja pertama periode Lontara. Dalam sejarah Luwu dikenal ada dua periode; periode Galigo dan periode Lontara.
Masa periode Galigo disesuaikan dengan sumber tradisi buku sastra kuno ‘I La Galigo’ yang ditemukan BF Matthes di tahun 1888. Periode ini digolongkan oleh RA Kern, seorang ahli sejarah berkebangsaan Belanda sebagai masa prasejarah. Bahkan sebagian lagi menyebutnya ‘pseude history’ atau masa sejarah semu. Dari buku I La Galigo disebutkan ada tiga tempat; Wara, Luwu, dan Wewangriu yang sering dipersamakan dengan Tompotikka.
Menurut Sanusi Daeng Mattata, penulis buku Luwu dalam Revolusi, menyebutkan kata Luwu itu berasal dari kata ‘riulo’ yang artinya diulurkan dari atas. Penamaan ini dikaitkan dengan tradisi lisan yang disakralkan di Tana Luwu. Dari tradisi lisan disebutkan, bumi ini diulurkan dari langit, dihamparkan, kemudian ditaburi dengan kekayaan alam yang melimpah.
Asal usul penamaan Luwu juga dari kata malucca (bahasa bugis ware’) atau malutu (bahasa palili’) yang artinya keruh atau gelap. Makna keruh di sini yakni penuh dengan isi, laksana warna air sungai yang banjir. Gelap ditafsirkan hutan rimba belantara yang diselingi hutan sagu di sekitar pantai. Maka dari malucca dan malutu disederhanakan pengucapannya menjadi malu’ hingga seterusnya terdengar seperti lu’ atau luwu.
Kata ‘Luwu’ atau Lu’ juga dapat dihubungkan dengan kata laut. Hal ini seperti yang diungkapkan C. Salombe, seorang budayawan Tana Toraja dalam bukunya; Orang Toraja dengan Ritusnya yang diterbitkan di tahun 1972. C. Salombe menyebut dalam bukunya, Lu’ berasal dari kata lau yang artinya laut, yang dapat pula dipersamakan dengan timur. Salombe juga menulis, kata Toraja itu merupakan penyebutan orang Luwu kepada orang yang berdiam di daerah pegunungan atau di sebelah barat . To Raja atau To Riaja bermakna orang di atas atau di sebelah barat. Sebaliknya, Luwu atau Lu’ merupakan penyebutan orang Toraja kepada yang bermukim di bagian pesisir pantai atau di sebelah timur atau di dataran rendah.Pendapat ini dipertegas pula oleh Andi Zainal Abidin, seorang penulis sejarah dan budaya Bugis. Dia menegaskan, Luwu bermakna wilayah pinggir laut. Sehingga Luwu disebut pula sebagai kerajaan pantai Luwu, karena merupakan kerajaan pertama yang meliputi sepanjang pantai Sulawesi yang mempersatukan wilayah mulai dari Gorontalo di utara dan Selayar di selatan


Arti Logo

  • Bintang Menggambarkan Ketuhanan Yang Maha Esa masyarakat Luwu Utara yang religious.
  • Payung Maejae Simbol Kekuasaan tertinggi raja Luwu yang (payung peroe) melambangkan kemanunggalan (masedi siri) antara pemerintah dan seluruh kornponen masyarakat Luwu Utara dan sekaligus simbol "pengayoman".
  • Padi dan kapas Simbol kesejahteraan bagi masyarakat Luwu Utara yang cukup sandang dan pangan.
  • Besi Pakkae Simbol kekuasaan raja Luwu maknanya adalah kesejahteraan egalitarian antara seluruh komponen masyarakat.
  • Pohon sagu Simboi kerukunan, kekokohan, ketegaran masyarakat Luwu Utara.
  • Wadah gambar Simbol dasar negara, wadah dalam kehidupan bersudut lima bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  • Pita Simbol pengikat persaudaman.
  • Payung dan besi Menggambarkan masyarakat Luwu Utara yang pakkae bermasyarakat dan berbudaya.



0 komentar:

Posting Komentar