Kamis, 02 Mei 2013

HISTORY FORT ROTTERDAM

Sebuah benteng bersejarah di jaman kerajaan di wilayah ini paling dikenal Makassar Fort Rotterdam (Port of Rotterdam). Awalnya, benteng ini bernama Benteng Jumpandang, juga dikenal sebagai Panynyua benteng terlihat seperti kura-kura. Gaya ini akan menjadi bentuk kura-kura merangkak menuju laut, langit. Hal ini mengacu pada filosofi kekerasan pasukan Gowa perang di medan perang hewan seperti kura-kura yang bisa hidup di dua pribumi dari tanah dan laut.  

Indonesia Anhar Gonggong sejarah mengatakan bahwa pasukan kerajaan Gowa adalah "katak manusia", yang berbasis di Fort Ujung Pandang. Ujung Pandang benteng di tepi pantai barat tes bakat sejarah nyata Makassar di wilayah Sulawesi Selatan. Pada 1667, setelah raja Perjanjian Anggota Gowa Bungay ditugaskan dan menyerahkan kekuasaan kepada penjajah Belanda. Kejadian dimulai dengan penghancuran hampir semua memiliki sebuah perdikan dari kerajaan Gowa Fort Rotterdam, kecuali oleh tentara kolonial Belanda. Sementara Fort Somba Opu (sebelah timur dari Fort Makassar), setelah dua tahun dan kemudian dihancurkan oleh Belanda.
Pentingnya keberadaan Ujung Pandang kekuatan ekonomi dan bangunan geografis telah direnovasi juga dapat disebut Fort Rotterdam, Belanda Cornelis Speelman oleh, pejabat Belanda / gubernur wilayah timur Indonesia saat ini. Di daerah benteng masih bangunan tua, sisa-sisa kolonialisme Belanda, termasuk gereja, penjara, kantor kolonial Belanda, tempat penyimpanan untuk menyimpan rempah-rempah dari pulau Indonesia di Timor. Bahkan, pembangunan sebuah penjara di Fort Rotterdam sebelumnya dihuni oleh pahlawan nasional kita, Pangeran Diponegoro diasingkan oleh Belanda selama 26 tahun sampai kematiannya.
Selain cara lama membangun lain asli Fort Rotterdam School of Museum La Galigo. Ada juga ruang di dalam Maket Citadel, arkeologi, koin, keramik, urusan luar negeri dan Kerajaan Luwu, Bone dan Gowa mengatakan tentang sejarah dan budaya Sulawesi Selatan United.

Sejarah Singkat Benteng Fort Rotterdam merupakan salah satu benteng di Sulawesi Selatan yang dapat dianggap megah dan menawan. Sebuah wartawan New York Times, Barbara Crossette benteng ini pernah digambarkan sebagai "yang terbaik diawetkan benteng Belanda di Asia." Awalnya benteng ini disebut Benteng Jumpandang (Ujung Pandang). Benteng ini merupakan peninggalan Kesultanan Gowa sejarah, Kekaisaran pernah Berjaya sekitar abad ke-17 dengan modal Makassar. Empire sebenarnya memiliki 17 buah benteng yang mengelilingi seluruh ibukota. Hanya, Benteng Fort Rotterdam merupakan benteng yang paling megah dari benteng benteng yang lain, dan keasliannya telah dipertahankan sampai sekarang.

Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-X bernama Daeng Bonto Karaeng Imanrigau Lakiung atau Karaeng Tunipalangga Ulaweng. Pada awal benteng ini adalah segi empat, seperti gaya arsitektur benteng Portugis. Bahan dasar dan rock campuran dan tanah liat yang dibakar kering.
Pada tanggal 9 Agustus 1634, Sultan Gowa XIV (I Mangerangi Daeng Manrabbia, dengan gelar Sultan Alauddin) membuat Rock wall dinding dengan batu hitam yang dibawa dari Maros. Pada tanggal 23 Juni 1635, dibangun kembali dinding tembok kedua dekat pintu gerbang.
Benteng ini dihancurkan pada masa kolonial Belanda. Belanda pernah menyerang Kesultanan Gowa yang saat itu dipimpin oleh Sultan Hasanuddin, antara tahun 1655 sampai 1669. Tujuannya adalah untuk menguasai perdagangan rempah-rempah invasi rute Belanda dan memperluas kekuasaan sayap mereka untuk memfasilitasi membuka jalur ke Banda dan Maluku.
Armada perang Belanda pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Admiral Cornelis Janszoon Speelman. Selama satu tahun penuh Kesultanan Gowa diserang, serangan ini juga mengakibatkan hancur sebagian benteng. Sebagai hasil dari kekalahan ini Sultan Gowa dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.
Gubernur Jenderal Speelman kemudian membangun kembali benteng yang sebagian hancur oleh model arsitektur Belanda. Bentuk benteng yang berbentuk persegi panjang dengan empat bastion, ditambahkan satu bastion lagi di sisi barat. Nama benteng kemudian disebut Fort Rotterdam, yang merupakan nama tempat kelahiran Speelman.
Sejak itu Fort Rotterdam berfungsi sebagai pusat perdagangan dan penimbunan hasil bumi dan rempah-rempah serta pusat pemerintahan Belanda di Nusantara Timur (Indonesia).

Puri Arsitektur
tembok benteng kokoh naik setinggi 5 meter dengan ketebalan dinding sekitar 2 meter, dengan pintu utama kecil. Bila dilihat dari pentagon berbentuk benteng udara seperti kura-kura yang ingin masuk ke pantai. Karena benteng ini terlihat seperti kura-kura, kadang-kadang juga benteng juga disebut Benteng Panynyua (kura-kura). Benteng ini memiliki 5 Bastion, yang membangun posisi yang lebih kuat dan lebih tinggi di setiap sudut benteng yang biasanya ditempatkan di atas kanon atau meriam.

Wisata Sejarah
Salah satu atraksi terkenal di sini selain untuk melihat benteng dan museum yang dikunjungi Lagaligo Diponegoro sempit memegang ruang sementara diasingkan oleh Belanda dari Jawa tertangkap di tanah. Perang Diponegoro pecah antara tahun 1825-1830 yang berakhir dengan Pangeran Diponegoro perangkap oleh Belanda saat mengikuti perundingan damai. Pangeran Diponegoro kemudian ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian pada tahun 1834 ia dipindahkan ke Fort Rotterdam.
Dia sendiri ditempatkan di sel penjara berdinding melengkung dan sangat kokoh. Dalam ruangan yang ia memberikan ruang kosong dan hidup lainnya seperti peralatan shalat pelengkap, quran, dan tempat tidur.
Banyak yang percaya bahwa Diponegoro kemudian meninggal di Makassar, dan dikuburkan di situ juga. Tapi ada pendapat lain mengatakan, mayat Diponegoro tidak ada di Makassar. Setelah ia meninggal Belanda untuk memindahkannya ke tempat rahasia agar tidak memicu ledakan pengikut fanatik di Jawa atau di sana.
Akses ke Lokasi
Karena terletak di pusat Kota Makassar, benteng ini mudah diakses. Bisa menggunakan taksi, angkutan umum, atau pengiriman fasilitas hotel.
Laju
Manajer tidak bertanggung jawab untuk setiap pengunjung yang masuk ke benteng ini.


Pascarevitalisasi Benteng Ujungpandang yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mulai tahun 2010, tampak telah membuahkan sejumlah perubahan fisik di bekas Benteng Kerajaan Gowa tersebut. Salah satunya, di batas taman depan pintu belakang (bagian barat) benteng kini sudah dipajang tulisan ‘Fort Rotterdam.’
Hasil revitalisasi membuat nama Fort Rotterdam di taman barat Benteng Ujungpandang
Namun demikian, kehadiran tulisan berukuran besar yang terbuat dari logam dicat warna merah tersebut, menimbulkan tanya dari banyak pengunjung yang datang berwisata hari Minggu kemarin di benteng tersebut.

”Benteng ini sejak lama dikenal, termasuk disebut-sebut dalam catatan sejarah dengan nama Benteng Ujungpandang, tapi di sini diberi merk tulisan Fort Rotterdam. Kenapa bisa begitu ya Pak?” Begitu tanya seorang pengusaha muda asal Jawa Timur, setelah baru saja bersama beberapa rekannya melakukan foto bersama di depan tulisan Fort Rotterdam yang terpajang di tepi taman benteng yang berbatasan langsung dengan Jl. Ujungpandang tersebut.
Setelah mereka berfotoria, Minggu sore kemarin tampak serombongan siswa yang mengaku dari kabupaten tetangga Kota Makassar datang berfoto bersama di depan tulisan Fort Rotterdam tersebut. Lebih dari sepuluh menit rombongan anak-anak ini berada di depan tulisan Fort Rotterdam yang merupakan bagian dari pekerjaan proyek revitalisasi Benteng Ujungpandang. Dari mereka tak terdengar satu pun tanya tentang makna kata tersebut. Bahkan anak-anak itu kelihatan begitu ceria dan bangga, secara berkelompok silih berganti saling mengabadikan melalui kamera ponsel dengan latar tulisan Fort Rotterdam.
Tampak label Fort Rotterdam di atas pintu belakang (bagian barat) Benteng Ujungpandang
Benteng Ujungpandang yang luasnya 28.585 meter bujursangkar tersebut dibangun tahun 1545 dalam masa pemerintahan Raja Gowa X, Tunipalangga Ulaweng. Benteng ini merupakan satu-satunya benteng pertahanan Kerajaan Gowa yang tersisa, tidak dihancurkan ketika kolonialis Belanda berhasil memerangi kerajaan Gowa. Puluhan benteng pertahanan Kerajaan Gowa lainnya dihancurkan Belanda setelah dilakukan Perjanjian Bungaya tahun 1667.
Dalam naskah-naskah tua ‘Lontara’ di Sulawesi Selatan, benteng yang tersisa ini jelas disebut-sebut namanya sebagai Benteng Ujungpandang. Kedudukannya, sama seperti puluhan benteng lainnya sebagai Benteng Pengawal dari Benteng Somba Opu yang menjadi benteng induk Kerajaan Gowa di pesisir pantai barat Makassar.
Taman dan kanal yang dibangun pihak kemeterian PU di bagian selatan Benteng Ujungpandang
Dalam naskah Perjanjian Bungaya, sebenarnya pihak kolonial Belanda mencantumkan dua Benteng yang tetap harus dipertahankan. Yaitu benteng induk Somba Opu, tidak dihancurkan untuk tetap ditempati oleh pihak Kerajaan Gowa, dan Benteng Ujungpandang lantaran dipilih untuk dijadikan markas dari pihak kolonial. Namun kemudian, pihak Belanda tetap membombardir Benteng Somba Opu yang ditempati pihak Kerajaan Gowa hingga rata dengan tanah.
Pimpinan kolonial Belanda, admiral Cornelis Speelman ketika bermarkas di Benteng Ujungpandang lalu memberi label benteng ini dengan nama Fort Rotterdam pada tahun 1686, sebagaimana nama tempat kelahirannya di negeri Belanda. Sebuah prasasti kecil yang bertuliskan nama Fort Rotterdam kemudian dipajang di atas pintu belakang benteng ini, seperti yang masih terlihat sekarang. Pintu belakang Benteng Ujungpandang (di bagian barat) tersebut oleh kebanyakan generasi sekarang dikenali sebagai halaman depan Benteng Ujungpandang. Padahal pintu depan benteng ini, sebagaimana dokumen yang ada, terletak di bagian timur yang sekarang masih tertutup bangunan perumahan dan Kantor Pos Besar Makassar.
Upaya revitalisasi Benteng Ujungpandang yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sejak tahun 2010 lalu, dimaksudkan untuk mengembalikan zoning benteng ini sebagaimana awalnya. Termasuk untuk membuka bangunan yang masih menutup berimpit dengan dinding benteng di bagian timur yang merupakan halaman muka, dan bangunan-bangunan yang menutup di bagian utaranya.
Dengan dana yang dikucurkan melalui APBN tahun 2010 sebesar Rp 8,9 miliar sejumlah kerangka dan atap bangunan dalam Benteng Ujungpandang direhab dan bahkan terlihat diganti. Sebagaimana diketahui, pada awal benteng ini dibangun bangunan-bangunan bergaya rumah adat Bugis Makassar yang menghias didalamnya. Tapi kemudian, ketika pihak kolonial merampasnya, bangunan-bangunan tersebut diganti menurut kehendak mereka. Tak heran jika bangunan-banguan permanen yang tersisa dalam Benteng Ujunpandang saat ini didominasi bangunan berkonstruksi ala Belanda, di samping terdapat bangunan buatan pihak Portugis dan Jepang.
Terowongan masuk di arah timur Benteng Ujungpandang

Revitalisasi tahap pertama juga berhasil membebaskan Kantor Dinas Perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan yang menghimpit dinding benteng di bagian Selatan. Di bekas gedung tersebut, dalam tahun 2011 lalu dengan menggunakan dana APBN Kementerian PU melalui pos anggaran ‘Penataan Ruang Terbuka Hijau’ sebesar Rp 3,6 miliar berhasil dibangun sebuah taman. Di samping penggalian kanal sesuai zoning benteng masa lalu sepanjang 300 meter dengan lebar antara 10 hingga 17 meter, dan kedalaman kanal 3,5 meter.
Dalam tahun 2011 juga, melalui APBN diguyur dana sebesar Rp 24,3 miliar untuk revitalisasi lanjutan tahap II Benteng Ujungpandang. Plus ada dana khusus sebesar Rp 4,3 miliar diarahkan untuk merevitalisasi Museum La Galigo yang menempati dua bangunan — Bangunan M dan Bangunan D yang sebenarnya juga sudah menjadi sasaran proyek revitalisasi Benteng Ujungpandang.
Namun rencana untuk revitalisasi tahap III Benteng Ujungpandang tahun 2012, di antaranya untuk memindahkan sejumlah bangunan milik Stasion RRI Makassar yang menghimpit dinding benteng di bagian utara tampaknya tidak dapat berjalan. Dana yang diancang-ancang untuk itu sebesar Rp 10 miliar tak akan terujud, lantaran pihak Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di tahun 2012 ini melakukan moratorium sementara tidak memberikan bantuan untuk revitalisasi situs sejarah maupun purbakala di seluruh Indonesia


0 komentar:

Posting Komentar